Kematian tragis mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), Aulia Risma, mengguncang dunia kedokteran. Di balik kasus kematian tersebut, kasus ini mengungkap sisi gelap dari budaya senioritas yang telah lama mengakar di lingkungan pendidikan kedokteran, khususnya pada program spesialis.
Senioritas yang seharusnya menjadi wadah transfer ilmu dan pengalaman, justru menjelma menjadi monster yang menebar teror hingga merenggut nyawa. Praktik perundungan ini telah menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban dan mengancam integritas profesi medis.
Budaya senioritas dalam dunia kedokteran sulit diubah karena beberapa faktor yang terlanjur mengakar. Salah satunya yakni normalisasi perundungan. Praktik ini dianggap sebagai bagian dari kehidupan mahasiswa kedokteran, bahkan disalahartikan dengan adanya istilah “senior selalu benar”.
Selain itu, struktur hierarki yang sangat kuat juga membuat mahasiswa junior merasa tak berdaya melawan senior, sehingga perundungan menjadi terus berlanjut tanpa adanya perlawanan. Bahkan, perundungan itu sampai pada pemerasan pada korban, dengan bukti almarhum dokter Aulia Risma yang dimintai sejumlah uang bulanan oleh seniornya.
Kurangnya mekanisme dukungan dan tindakan tegas dari institusi pendidikan juga memperburuk situasi, karena korban seringkali tidak memiliki sarana dan akses yang aman untuk melaporkan kasus-kasus tersebut.
Sistem hukum yang seharusnya melindungi korban justru sering kali memperlihatkan sikap lamban dalam menangani kasus-kasus serupa. Bukan hanya tidak berpihak kepada korban, melainkan juga menciptakan kesan bahwa perundungan tidak dianggap sebagai kejahatan serius yang perlu ditangani secara cepat dan tegas.
Kelambatan ini menunjukkan kegagalan negara dalam memastikan rasa aman bagi masyarakat, terlebih para korban perundungan. Apakah harus viral terlebih dahulu baru kemudian dikasuskan?
Pasalnya, beberapa korban terbukti memilih media sosial sebagai jalur pelaporan. Hal itu mereka lakukan karena kasus seperti itu tidak akan digubris oleh pemangku kebijakan.
Tragisnya, pihak UNDIP dan RS Kariadi pun lambat mengakui bahwa perundungan telah terjadi di lingkungan mereka, meski korban telah meregang nyawa. Bahkan, setelah kepergian Aulia Risma, sang ayah pun wafat tak lama kemudian, menambah kedukaan yang tak terperikan.
Jika hukum dan institusi pendidikan gagal melindungi mereka yang rentan seperti Aulia Risma dan keluarganya, kepada siapa lagi kita bisa bergantung untuk mendapatkan keadilan?
Fenomena “no viral, no justice” ini tampaknya akan terus lestari. Meskipun nyatanya, viralnya kasus pun tak menjamin tegaknya keadilan dan ketuntasan masalah.
Budaya perundungan yang ada pada dunia kedokteran harus segera disudahi. Pelaku harus segera ditindak tegas dan dikenai sanksi yang menjerakan demi kesejahteraan dunia kedokteran.
Selain itu, yang terpenting tindak lanjut kasus seperti ini mestinya tak usah memandang bulu, mengingat sejumlah pelaku yang mempunyai latar belakang tertentu. Sistem hukum tak boleh tiba-tiba masuk angin dalam menindaklanjuti pelaku perundungan.