Tak bisa dipungkiri, fenomena Catcalling yang merebak di berbagai tempat dan kalangan ini masih menjadi momok serius yang kerap kali diabaikan. Pasalnya, praktik catcalling ini tak hanya dilakukan oleh kuli bangunan, kernet bus, atau orang pinggiran jalan saja, tetapi ada juga manusia sekelas mahasiswa yang dinilai “intelek” pun turut melakukan hal nista itu.
Kasus ini saya dengar langsung dari tiga teman saya saat acara organisasi beberapa saat lalu, yang kebetulan bersamaan dengan acara kampus lain. Mereka bercerita bahwa mereka mendapatkan catcalling dari mahasiswa lain yang secara tidak sengaja berpapasan dengan mereka. Oleh karena itu, sejatinya pelaku catcalling bisa berasal dari kalangan mana saja dan siapapun bisa menjadi pelaku jika mereka mau.
Dalam undang-undang pun sebenarnya sudah tertera bahwa catcalling juga merupakan bentuk pelecehan seksual. Hanya saja, sebagian orang mungkin belum mengetahuinya. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tindakan catcalling bisa dilaporkan sebagai tindak pidana. UU ini secara jelas melindungi korban dari kekerasan seksual, termasuk yang berbentuk verbal.
Pasal 5 UU TPKS mendefinisikan bahwa, kekerasan seksual tak hanya sebatas tindakan fisik, tetapi juga meliputi kekerasan seksual non-fisik seperti catcalling. Pelaku catcalling jelas dapat diberikan hukuman pidana sesuai dengan pasal tersebut, berupa hukuman penjara dan denda.
Tak hanya itu, jika tindakan ini dilakukan dalam lingkungan penyandang disabilitas ataupun keluarga, hukuman pelaku dapat diperberat hingga sepertiga dari hukuman semula sesuai dengan Pasal 15.
Selanjutnya, pada Pasal 7 UU TPKS disebutkan bahwa tindak lanjut atas tindakan ini memerlukan laporan dari korban. Oleh karena itu, kesadaran korban dan masyarakat mengenai hak untuk melapor sangat penting demi menindak pelaku catcalling dan menegakkan keadilan.
Di sisi lain, sebagai dasar yang lebih mendalam, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual juga sudah dijamin oleh konstitusi kita, yakni UUD 1945. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak setiap warganya dari kekerasan, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal yang menjamin hak asasi manusia.
Untuk memperkuat dalil ini, UU TPKS pada bagian ‘menimbang’ menyebutkan bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, sesuai dengan Pancasila. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi setiap warganya dari segala bentuk kekerasan seksual.
Tapi, mengapa hanya catcalling yang dapat dikenai delik?
Jawabannya sederhana, karena catcalling jelas dapat mengusik kenyamanan, keamanan, dan ketenangan korban. Bahkan catcalling terbukti dapat membuat korbannya takut keluar rumah, takut beraktivitas, dan takut berinteraksi dengan orang sekitar. Perbuatan catcalling jelas bukan “hanya”.
Ketidaktahuan pelaku mungkin bisa ditolerir, tapi ketidakmampuan berpikir jelas tidak bisa ditoleransi. Tidak mungkin seorang mahasiswa tidak mengetahui jika catcalling dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan seseorang. Hanya ada satu kemungkinan seorang mahasiswa melakukan hal nista itu, kalau mahasiswa tersebut memanglah dungu.
Mungkin saja, ada dari beberapa orang yang merasa tak masalah manakala dirinya mendapatkan catcalling oleh orang lain, bahkan bangga dengan itu karena dia berpikir apabila mendapatkan catcalling dari banyak orang, itu berarti dirinya terbukti menawan dan pandai menarik perhatian. Terlebih jika pelaku berparas rupawan. Tetapi, pola pikir yang salah itu tentu hanya dimiliki segelintir orang saja. Jelas tidak semua orang menerima dan nyaman ketika mendapatkan catcalling.
Namun sayangnya, dari sudut pandang korban, korban tak mampu mengendalikan itu semua. Korban catcalling jelas tak bisa membuat orang lain untuk menjaga tindak tanduknya. Hanya saja, korban catcalling juga tak boleh pasrah dan membiarkan pelaku begitu saja. Sebab, jika terus dibiarkan, pelaku akan terus merasa bangga karena dirinya berhasil membuat korban takluk padanya.
Bagaimana bisa demikian?
Jika kita mau untuk jeli mencermati fenomena itu, pelaku catcalling umumnya nyaris selalu melakukannya ketika pelaku sedang bersama teman-temannya. Besar kemungkinan, pelaku akan bersikap berbeda manakala dirinya sedang sendirian. Dari sini sudah bisa dilihat jika pelaku membutuhkan validasi dari teman-temannya. Memang, pelaku catcalling jelas merupakan epitome dari kata “pengecut”.
Pada akhirnya, catcalling merupakan wujud nyata dari tidak peduli dan tidak mengerti hak orang lain. Kita semua tentu memiliki peran dalam mengubah budaya ini. Mari mulai dengan saling menghormati dan menghargai hak rasa aman dan nyaman bagi setiap orang. Setiap individu harus sadar bahwa catcalling bukanlah hal sepele yang bisa diabaikan.
UU TPKS pun sudah memberikan landasan hukum yang kuat untuk menindak pelaku pelecehan seksual verbal ini. Namun, hukum hanya akan bekerja efektif jika kita sebagai masyarakat turut kooperatif dan berani melaporkan serta menolak segala bentuk pelecehan.
Adapun satu hal yang harus dipahami oleh korban bahwasanya tidak semua orang di dunia ini sama, tidak semua orang di dunia ini cabul, dan tidak semua orang di dunia ini gemar catcalling. Sebaliknya, orang baik di dunia ini masih ada dan akan terus ada. Maka, sudah saatnya kita mengubah mentalitas yang keliru dan menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman bagi semua orang, tanpa terkecuali.
Penulis: Han
Editor: Ferisa Salwa Adhisti