Kampus menjadi tempat menarik bagi para politikus untuk melakukan kampanye, baik itu kampanye pemilihan kepala negara, maupun kepala daerah. Kampus bisa saja menjadi lumbung suara bagi para politikus tersebut.
Kita ketahui bahwa kampus merupakan lembaga penyelenggara pendidikan akademik dan vokasi di berbagai bidang ilmu, teknologi, dan seni. Menjadi pertanyaan besar, apakah boleh para politikus tersebut melakukan kampanye di lingkungan kampus?
Mengacu pada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye, menjelaskan bahwa tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah masih dapat digunakan dengan persyaratan atau pengecualian, yakni dengan adanya izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah tersebut.
Berkenaan dengan hal tersebut, reporter pabelan-online.com mewawancara Fikri Disyacitta selaku dosen Komunikasi Politik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), untuk membahas tentang bagaimana para civitas academica memandang kampanye di kampus.
Apakah boleh berkampanye di kampus untuk penggiringan suara salah satu politikus?
“Kalau kita di kampus, kampanye dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan, seperti wah apa ini kok kemudian ada partai politik masuk kampus dan lain sebagainya. Nah itu mungkin kalau kita flashback, memang tidak salah jika kita punya pemikiran takut kalau partai politik atau kampanye dilakukan di kampus. Ketakutan tersebut menjadi peninggalan dari masa Orde Baru (Orba).
Kita bisa membaca berkaitan dengan Normalisasi Kehidupan Kampus – Praktik Klinik Keperawatan (NKK – PKK). Kebijakan tersebut, berusaha untuk membuat bagaimana kampus itu steril dari diskusi politik, bahkan jangankan diskusi, ngobrol tentang politik pun zaman dulu tabu sekali.
Akhirnya, kebijakan depolitisasi itu membuat kampus steril dari kegiatan politik dan itu terbawa sampai sekarang. Imbasnya masih bisa kita rasakan, ada ketakutan kalau kampus itu kemudian dijadikan sebagai ruang berkampanye, lalu merasa ini bentuk politisasi mahasiswa.
Tetapi hal itu menjadi tidak sehat, kalau kemudian pendefinisian kampanye politik itu tidak jelas. Akan menjadi bahaya, apabila pembatasan diksinya sampai sejauh mana kita melarang kampanye politik masuk kampus. Jangan-jangan nanti kita diskusi politik pun nggak boleh karena itu masuk kampanye.
Bagi saya pribadi, kalau kita kemudian menjadikan kampus sebagai ruang diskusi politik, ya memang harus begitu. Karena bagaimanapun kampus itu adalah tempat yang akan ada misi,mahasiswa, maupun dosen.
Kemudian, kampanye politik itu harus jelas konsepnya seperti apa dulu, kalau misalnya hanya satu parpol tertentu yang boleh berkampanye di sebuah kampus, nah itu bermasalah.
Terkait dengan bagaimana kemudian kampus itu dijadikan sebagai arena untuk kampanye politik dan lain sebagainya, nah menurut saya, seharusnya sebagai sebuah tempat diskusi politik, dan memang harus bersemai di situ.”
Kampanye seperti apa yang diperbolehkan dalam kampus?
“Gagasan-gagasan politik itu kita tampung, tapi syaratnya adalah proporsional. Artinya tidak boleh kalau kemudian satu partai saja yang lain dilarang, tidak boleh masuk, seperti itu jelas tidak sehat.
Ini yang perlu untuk kemudian di Mahkamah Konstitusi (MK), di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengusulkan wacana bahwa kampus itu sekarang tidak-tidak lagi menjadi tempat yang dilarang untuk berkampanye. Agar kampanye yang ada di kampus memiliki konsep yang jelas, tidak hanya turun kelapangan tapi, berkampanye dengan berdiskusi dan kita menyuarakan tentang berpolitik yang baik dan sebenarnya.”
Bagaimana etika yang seharusnya diterapkan oleh civitas academica, apakah boleh terlibat dalam kampanye?
“Nah ini yang juga perlu untuk diatur dalam rancangan undang-undang yang membolehkan kampus sebagai salah satu tempat kampanye politik. Karena kampus merupakan ruang akademis setiap perbedaan opini dan pendapat dihormati. Tetapi kemudian jangan lupa ada insan dosen yang juga berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), ada juga tenaga pendidik, tenaga karyawan, dan tenaga kependidikan yang juga ASN.
Apabila diperbolehkan kampanye menurut saya itu ya batasannya adalah bukan boleh berkampanye tetapi boleh untuk mendiskusikan. Dalam tridharma perguruan tinggi, pendidikan tidak boleh berpolitik praktis, memihak kepada satu pihak, hal ini nanti di lapangan juga akan menimbulkan ambiguitas. Tetapi menurut saya, koridornya tetap ini adalah koridor pelaksanaan tridharma perguruan tinggi.”
Untuk sekarang, undang-undang kampanye apakah belum ada?
“Sekarang di kampus, peraturan terkait kampanye diperbolehkan. Untuk undang-undang yang mengatur itu bagus, tetapi yang menjadi masalah karena ruang yang diatur itu tidak jelas.
Ketentuan undang-undangnya itu yang kemudian bagi saya, jangan cuman bagus saja, tapi kemudian dalam praktek tidak sesuai. Jadi, kekhawatiran kita ketika satu partai tertentu saja yang bisa masuk dan kemudian yang lain-lain ditendang satu-satu. Kalau seperti itu di mana belajar demokrasinya, kemudian kita tidak siap untuk menghadirkan berbagai ide, kalian mengolah mana yang besok akan kita pilih.”
Apabila, ada civitas academica terindikasi berkampanye untuk salah satu paslon apa konsekuensinya?
“Itu yang perlu untuk kita cermati dulu ya artinya akademisi atau dosen gitu ya, dosen itu kan macam-macam, ada dosen-dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) kalau dosen PNS kan posisinya jelas PNS itu tidak boleh berpolitik praktis. Artinya dia harus netral, dia harus menyampaikan pendapat itu atas dasar akademisi.
Apabila secara jelas dia mengkampanyekan partai atau mengkampanyekan tokoh tertentu, itu ada undang-undangnya. Undang-undang ASN yang kemudian mengatur bagaimana jika seorang ASN itu ketahuan berpolitik praktis.”
Bagaimana dengan kampanye itu hanya kampanye mempromosikan salah satu parpol?
“Ruang akademik itu memberikan asas proporsionalitas kepada semua peserta atau kepada semua partai politik, tetapi kalau sudah mengarahkan itu yang tidak benar. Misalnya ketika pemilu presiden 2019 kemarin. Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengundang semua perwakilan partai itu secara berimbang, yang mendukung Pak Prabowo maupun yang mendukung Pak Jokowi waktu itu.
Mereka tegas, mereka tidak menyebarkan materi kampanye apapun. Tetapi mereka diberi ruang untuk menyampaikan gagasan secara lisan dan itu dipatuhi betul oleh mereka semua. Jadi tidak ada flayer-flayer mereka, tidak sebar jersey atau kaos, pokoknya segala sesuatu yang mengandung unsur money politic atau kampanye dengan barang-barang seperti itu.
Maka perlu untuk dicermati dulu kasusnya seperti apa. Apakah sudah sampai pada taraf mengarahkan secara verbal, satu. Kemudian yang kedua, apakah ada pembagian materi atau pembagian insentif-insentif. Universitas itu, berarti tetap memberikan istilahnya ruang untuk berpolitik, tetapi kita juga harus mengedepankan etika yang seharusnya itu bagaimana.”
Reporter: Ivana Sarah Azaria dan Bagas Pangestu
Editor: Aulia Azzahra