Buku: Le Petit Prince (Pangeran Cilik)
Penulis: Antoine de Saint-Exupéry
Penerbit Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Henri Chambert-Loir
Tahun Terbit: Cetakan Agustus 2016
Akan kuceritakan bagaimana kehangatan yang dihadirkan dari sebuah buku dongeng ke dunia yang dingin saat ini –Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry. Ditulis pada tahun 1943, buku ini terus memikat dan tak lekang oleh waktu, menghadirkan kisah yang tampaknya sederhana namun sarat akan kebijaksanaan.
Kisahnya dimulai dengan narasi seorang pilot, yang ternyata adalah representasi dari penulisnya sendiri. Ia mengalami kecelakaan dan terdampar di gurun pasir, tak ada satupun orang disana. Namun, kecelakaan itu menjadi titik balik penyadaran terhadap apa yang sebenarnya ia cari —kedamaian tentang memahami diri sendiri.
Di sanalah ia bertemu dengan seorang anak kecil berambut kuning keemasan, yang datang dari planet kecil bernama Asteroid B612. Melalui percakapan dengan Pangeran Cilik, pelajaran pertama yang disampaikan adalah mengenai cintanya pada bunga mawar di planetnya. Mawar itu, meski terlihat biasa saja, menjadi begitu berharga bagi Pangeran Cilik karena ia yang merawatnya. Ia menyadari bahwa setiap mawar mungkin serupa, namun hanya satu yang istimewa karena dialah yang merawat dan menyayanginya.
Buku ini telah menggugah banyak pembaca di dunia yang jatuh cinta dengan sosok Pangeran Cilik dalam buku, hingga bukunya masih laris diterbitkan ulang hingga saat ini. Bagaimana tidak? Pandangan sederhana si Pangeran Cilik, merupakan kebijaksanaan yang sulit diraih oleh orang-orang yang tak dapat memahami diri sendiri.
Lewat perjalanan Pangeran Cilik yang ia ceritakan kepada si pilot, ia mengajak pembaca memikirkan kembali definisi kebahagiaan dan tujuan hidup. Seperti lewat pertemuan Pangeran Cilik dengan karakter-karakter unik di setiap planet yang ia kunjungi.
Saint-Exupéry menyajikan pertunjukan yang merepresentasikan berbagai kelemahan manusia dewasa. Misalnya, dalam pertemuannya dengan seorang raja yang duduk sendirian di singgasana, menjadi tamparan bahwa kekuasaan yang absolut sering kali tak berisi dan sepi. Lalu, ada pula seorang pengusaha yang menghitung bintang-bintang sebagai aset yang dimilikinya, namun tak benar-benar merasakan keindahan langit malam.
Pertemuan Pangeran Cilik dengan karakter-karakter ini adalah sebuah sindiran halus namun bermakna mendalam bagi orang dewasa yang sering kali terlalu sibuk mengejar hal-hal materiil atau kekuasaan. Mereka mengejar kebahagiaan dalam bentuk yang semu, sementara nilai-nilai yang sejati justru terlupakan.
Dalam percakapan dengan rubah, Saint-Exupéry menulis, “Hanya lewat hati kita melihat dengan baik. Yang terpenting tidak tampak di mata.” Mengajarkan tentang pentingnya melihat sesuatu dengan melampaui permukaan dan terhubung dengan hati kita untuk melihat yang sejati. Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang dapat diukur ataupun dilihat, melainkan sesuatu yang dirasakan dan terjalin melalui hubungan dengan orang lain, rasa syukur, dan kebijaksanaan dalam melihat dunia.
Di awal buku, kita diperkenalkan pada pengalaman sang pilot saat masih kecil, yang menggambar seekor ular boa yang menelan gajah. Ketika ia menunjukkan gambar itu pada orang dewasa, mereka justru mengira itu adalah topi. Orang dewasa, menurut sang pilot, seringkali terjebak dalam persepsi yang dangkal, mengabaikan imajinasi yang lebih kaya. “Orang dewasa tidak pernah mengerti apa-apa sendiri, dan sangat membosankan bagi anak-anak untuk selalu memberi penjelasan,” tulis Saint-Exupéry.
Dengan gaya penuturan yang lembut dan sederhana, penulis mengkritik cara pandang orang dewasa yang sering kali tidak peka dan terlalu berfokus pada logika. Imajinasi, empati, dan pandangan anak-anak yang penuh keingintahuan serta keterbukaan, hilang seiring berjalannya waktu, tergantikan dengan rutinitas dan pola pikir yang kaku.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa mempertahankan sisi kanak-kanak bukan berarti tidak dewasa, melainkan menjaga cara pandang yang jujur, terbuka, dan tidak terperangkap oleh batasan-batasan dunia. Salah satu hubungan paling mendalam yang dialami oleh Pangeran Cilik adalah dengan seekor rubah yang ia temui di bumi. Dalam salah satu kutipan yang terkenal, rubah mengatakan, “Kamulah yang membuatku merasa istimewa.” Dengan membangun hubungan yang saling terhubung, baik itu persahabatan atau cinta, kita merasakan adanya tanggung jawab emosional untuk saling menjaga dan menghargai.
Saint-Exupéry dengan apik menunjukkan bahwa relasi antar manusia tidaklah sekadar pertemuan yang dangkal, melainkan juga melibatkan rasa tanggung jawab untuk saling merawat, memahami, dan menghargai. Hingga di puncak cerita, yang menjadi ketakutan seluruh manusia di bumi, yakni tentang kehilangan. Pembaca akan dipertontonkan dengan perpisahan Pangeran Cilik yang kembali ke planet, dan mengakhiri perbincangannya dengan si pilot yang telah menyelesaikan perbaikan pesawatnya juga.
Sang pilot memang merasa kehilangan, namun ia juga mendapat pencerahan bahwa setiap pertemuan akan meninggalkan jejak yang abadi. Pangeran Cilik berkata kepada si Pilot, “Saat kau memandang langit di malam hari, karena aku tinggal di salah satu dari bintang-bintang itu, maka saat kau melihat langit, bagimu semua bintang akan terasa tertawa.” Lewat ungkapan itu, kita diingatkan bahwa dalam setiap kehilangan, selalu ada jejak kebersamaan yang tidak akan hilang. Begitu pula dalam hidup, pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari perjalanan yang harus diterima.
Penulis: Dandelion
Editor: Muhammad Farhan