UMS, Pabelan-online.com – Seluruh anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Indonesia (UI) mengumumkan pengunduran diri secara kolektif per 1 April 2024. Keputusan ini diambil menyusul minimnya dukungan institusional dan berbagai hambatan struktural yang menghambat pelaksanaan tugas mereka.
Sebanyak 13 anggota satgas, yang terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, menyatakan bahwa sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan UI mengalami kegagalan sistemik. Pernyataan resmi mengenai alasan pengunduran diri ini dipublikasikan melalui akun Instagram resmi mereka, @ppks.ui.
Penghentian penerimaan laporan baru dimulai sejak 4 Maret 2024, sebagai hasil mufakat bersama seluruh anggota satgas. Dalam pernyataannya, Satgas menyoroti kurangnya komitmen nyata dari pimpinan UI sebagai alasan utama pengunduran diri mereka.
Status Tim Pencari Fakta (Ad Hoc) yang disematkan pada satgas menyebabkan keterbatasan akses terhadap sarana, prasarana, serta dukungan keuangan untuk operasional, sementara prosedur administrasi yang rumit semakin memperberat tugas mereka. Selain itu, pada 17 Juli 2023, satgas telah mengajukan empat permintaan kepada pimpinan UI, termasuk penyusunan prosedur kerja sama dengan Pusat Penanganan Terpadu dan penandatanganan Pakta Integritas.
Di sisi lain, beberapa anggota satgas juga mengalami ancaman fisik dan psikis, baik secara langsung maupun digital, yang diperparah oleh minimnya perlindungan dari institusi. Hal ini berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka–yang semakin memperjelas sulitnya mereka melanjutkan tugas tanpa dukungan yang memadai.
Untuk mengulik lebih dalam, reporter pabelan-online.com berkesempatan melakukan wawancara dengan mantan anggota satgas, Farras Zidane Diego Ali Farhan yang baru saja merampungkan studinya di Fakultas Hukum UI.
Farras, selaku mantan anggota satgas menjelaskan bahwa, sesuai dengan peraturan, Satgas PPKS UI seharusnya tetap ada secara permanen, dengan anggota yang diangkat setiap dua tahun. Namun, Satgas periode 2022-2024 memutuskan mengundurkan diri sebelum masa jabatan usai akibat minimnya dukungan dan juga berbagai hambatan internal.
“Kami menghadapi permasalahan sulit sejak awal bertugas pada 1 November 2022, karena gak ada ruang yang memadai dan dana. Kemudian mengajukan gugatan kepada rektorat untuk memperbaiki kondisi dan menunjukkan komitmen nyata,” ujar Farras, Selasa (05/11/2024).
Namun, pada Agustus 2023, mereka terpaksa menutup laporan publik karena ketiadaan fasilitas dan sumber daya yang memadai. Farras menjelaskan, setelah mendapat tekanan dari pihak eksternal seperti, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Satgas PPKS UI dipanggil oleh rektorat.
“Kami dipanggil oleh rektorat, tapi hanya bertemu Wakil Rektor, bukan rektor langsung,” ungkapnya.
Farras mengungkapkan, perjuangan mereka untuk mendapatkan dukungan sarpras sudah ada hasil, berupa dana untuk menyusun modul dan peningkatan kapasitas, meskipun ruangan masih belum disediakan.
“Bayangin, kami harus berhadapan tatap muka langsung dengan pelaku, tanpa ada pembatas. Dan pernah ada kejadian salah satu anggota satgas mukanya ditunjuk-tunjuk oleh pelaku saat sedang menyelidiki keterangan. Aku langsung keluar dari ruangan, dan lari sejauh 300 meter buat panggil satpam,” kenangnya.
Ia menambahkan, setelah kejadian itu, kemudian kampus menyediakan satpam untuk berjaga di depan ruangan Satgas PPKS UI. Namun Farras menyayangkan dengan tidak adanya tindakan preventif dari kampus, dan ketersediaan fasilitas baru dihadirkan setelah memakan korban.
“Mungkin cuma itu keamanan secara fisik. Kalau keamanan secara digital kita dapat apa? Perlindungan klien itu enggak ada sama sekali sih. Terus juga diperaturannya. Ini penting banget karena aku dari basicnya hukum seharusnya diperaturan kata-kata Permendikbud itu ada aturan juga yang menetapkan hukuman bagi pihak-pihak yang melakukan intimidasi kepada satgas itu perlindungan preventifnya. Tapi itu nggak ada sama sekali jadi rentan banget gitu terus untuk konseling itu enggak bisa,” jelasnya lebih lanjut.
Selain itu, baginya, anggota satgas harus mendengarkan dan menganalisis cerita traumatis dari korban, kemudian merekonstruksi peristiwa tersebut untuk membuat analisis yang tepat. Proses ini, menurutnya, berdampak serius pada kesehatan mental anggota, terutama karena mereka tidak mendapatkan dukungan psikologis individu dari pihak kampus.
Ia juga mengungkapkan, untuk dukungan konseling yang disediakan pun hanya terbatas pada konseling kelompok, yang dinilai kurang efektif untuk mengatasi trauma sekunder yang dialami. Selain itu, Farras menyebut bahwa anggota satgas justru menjadi korban kekerasan struktural, termasuk ancaman dan intimidasi, tanpa perlindungan institusional yang memadai. Setelah mengundurkan diri, ia menyatakan bahwa kondisi mental mereka semakin memburuk.
Salah satu contoh intimidasi tersebut pernah ia alami saat menangani kasus besar yang menjadi sorotan nasional, seperti kekerasan seksual yang dilakukan oleh Melki Sedek Huang, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI tahun 2023.
“Aku pribadi pernah diteror pelaku kekerasan seksual melalui media sosial seperti LinkedIn dan Instagram. Saat menangani kasus besar seperti ini, kami juga kerap di doxing. Identitas kami dipertanyakan, bahkan ada tuduhan kami menerima sogokan. Padahal, jangankan sogokan, dana operasional pun kami sering kekurangan,” jelasnya.
Farras membandingkan situasi ini dengan perguruan tinggi lain seperti Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), di mana rektorat diwajibkan untuk rapat bersama satgas minimal setiap enam bulan sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) huruf i Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Ia menyayangkan, bahwa kewajiban serupa di UI tidak dijalankan, termasuk ketidakhadiran rektor dalam agenda-agenda strategis satgas.
Ia juga menyampaikan keprihatinannya terhadap kebijakan baru Kemendikbud Ristek tahun 2024, yang mengubah lingkup tugas satgas tidak hanya menangani kekerasan seksual, tetapi juga intoleransi dan diskriminasi. Meskipun kebijakan ini terlihat baik secara teori, Farras menilai hal tersebut tidak realistis karena beban kerja yang semakin berat tidak diimbangi dengan peningkatan dukungan bagi satgas.
“Setelah 13 anggota satgas mengundurkan diri, kami diundang oleh Kemendikbud Ristek. Namun, mereka tampaknya tidak belajar dari kasus di UI dan justru menerbitkan peraturan baru yang menambah beban kerja satgas,” keluhnya.
Penekanan lebih terkait perekrutan anggota satgas di UI juga harus turut memperhatikan hak dan kesejahteraan anggota. Menurutnya, empati terhadap isu kekerasan seksual tidak boleh dimanfaatkan untuk mendapatkan tenaga kerja gratis. Ia berharap ke depannya, jika satgas dibentuk kembali, universitas harus menawarkan remunerasi, honorarium, serta fasilitas yang memadai, seperti ruang kerja dan perlindungan hukum yang jelas.
“Harapan saya, pihak universitas harus menyadari kelemahan sistem ini dan melakukan perubahan nyata tanpa harus menunggu tekanan dari publik atau kementerian. Mereka juga harus mendengarkan langsung masukan dari orang-orang yang bekerja di lapangan, bukan hanya merumuskan kebijakan di kepala,” tegasnya.
Upaya untuk melanjutkan fungsi Satgas PPKS UI sebenarnya telah dimulai sejak Juni 2024, dengan pengumuman oleh akun Instagram resmi @bemui_official, tentang pembentukan panitia seleksi yang terdiri dari tujuh anggota. Pada Juli 2024, pendaftaran untuk anggota baru Satgas PPKS periode 2024-2026 resmi dibuka.
Namun, hingga awal Oktober 2024, tidak ada tindak lanjut yang jelas terkait hasil rekrutmen tersebut. Baru, pada 10 Oktober 2024, BEM UI melalui akun resminya mempublikasikan sosialisasi tahap awal rekrutmen anggota Satgas PPKS.
Pada Kamis, 14 November 2024, melalui akun Instagram resmi @univ_indonesia, akhirnya diumumkan anggota tetap Satgas PPKS UI periode 2024-2026. Pengumuman ini bertepatan dengan wawancara eksklusif yang dilakukan oleh reporter pabelan-online.com dengan Bella Sandiata, salah satu anggota Panitia Seleksi (Pansel) Satgas PPKS UI.
Bella menjelaskan bahwa, proses seleksi anggota satgas periode ini telah disesuaikan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh satgas sebelumnya. Meski secara umum tidak jauh berbeda dari proses seleksi dua tahun lalu, seleksi kali ini memberikan penekanan khusus pada partisipasi civitas academica UI.
Prosesnya meliputi beberapa tahapan, mulai dari seleksi administrasi, penerimaan masukan publik, wawancara substansi, hingga uji publik.
“Kami membuka kesempatan bagi civitas academica UI untuk ikut serta dalam sosialisasi open recruitment dan berdiskusi dengan pansel. Kami juga menerima masukan dari masyarakat terkait nama-nama yang lolos seleksi administrasi,” jelas Bella, Kamis (14/11/2024).
Untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi satgas periode sebelumnya, UI membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPKS. UPT ini diharapkan dapat membantu tugas-tugas administratif Satgas, sehingga anggota bisa lebih fokus pada tugas utama mereka.
“UPT PPKS berdampingan dengan satgas dalam upaya menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan. Kami bekerja sama dengan UPT dalam proses seleksi kali ini, dan ini menunjukkan itikad baik pimpinan universitas,” ungkap Bella.
Lanjutnya, Bella menjelaskan, bahwa pansel telah mendengar langsung keluhan dari satgas periode sebelumnya terkait minimnya fasilitas dan perlindungan. Pansel mendorong UPT PPKS untuk menyediakan jaminan keamanan dan kesejahteraan, termasuk menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas untuk mendukung kerja satgas.
Namun, untuk anggaran dan fasilitas kerja, Bella menegaskan bahwa hal tersebut menjadi ranah UPT PPKS. Pansel hanya bertugas memastikan seleksi calon anggota berjalan sesuai aturan dan standar yang telah ditetapkan.
Seiring berlakunya Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024, tugas Satgas PPKS kini tidak hanya menangani kekerasan seksual, tetapi juga isu intoleransi dan diskriminasi. Bella memastikan bahwa Pansel telah menyesuaikan persyaratan seleksi untuk mencari anggota yang mampu menangani beban kerja yang lebih luas.
“Universitas telah memberikan mandat kepada Pansel untuk mencari calon-calon Satgas terbaik, maka saya dapat sampaikan bahwa Pansel telah menyesuaikan persyaratan substantif calon anggota Satgas PPKS UI 2024 ini dengan Permendikbud 55/2024. Pansel berupaya untuk mencari calon anggota yang memiliki pemahaman yang utuh mengenai kekerasan fisik, psikis, seksual, serta intoleransi, diskriminasi, bullying dan disabilitas,” ujarnya.
Bella menuturkan hal tersebut juga dipastikan terelaborasi dalam tahapan wawancara yang dilakukan oleh Pansel kepada para calon anggota Satgas. Dari proses tersebut, ditemukan pribadi-pribadi yang dinilai memiliki itikad baik dan tekad yang kuat untuk mendorong terciptanya kampus UI yang bebas dari kekerasan.
Kepala Departemen Kajian Aksi dan Strategis (Kastrat) BEM UI, Muhammad Rafid Naufal Abrar, selaku pengawal isu ini dari April, turut ikut menyampaikan pesan dan harapannya.
Rafid mengungkapkan, BEM UI telah berulang kali menyuarakan tuntutan terkait dukungan yang seharusnya diberikan kepada satgas. Mulai dari aksi simbolis hingga aksi massa di depan gedung rektorat, upaya tersebut kerap kali tidak mendapat respons memadai dari pihak universitas.
“Kami bahkan melakukan aksi besar-besaran pada 22 April 2024 dan menyampaikan kartu hitam kepada rektorat sebagai simbol kekecewaan. Sayangnya, janji pertemuan yang diberikan hanya janji belaka,” tambahnya, Selasa (05/11/2024).
Menjelang pemilihan rektor baru UI pada Desember 2024, Rafid menegaskan, untuk permasalahan Satgas PPKS ini haruslah menjadi prioritas.
“Satgas PPKS tidak boleh hanya menjadi formalitas. Universitas harus memenuhi amanat Permendikbud Ristek untuk mendampingi, membiayai, dan memfasilitasi satgas. Jangan sampai kasus pengunduran diri kolektif sebelumnya terulang kembali,” pungkasnya.
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Alfin Nur Ridwan