UMS, pabelan-online.com – Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama dengan mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) pada tanggal 18 November 2024. Pertemuan ini menuntut pencabutan surat skorsing dan pemulihan status dan hak 31 mahasiswa.
Komisi VIII DPR RI yang diketuai oleh Marwan Dasopang mengabulkan permintaan mahasiswa UINAM untuk dilakukannya RDPU. Pertemuan ini dihadiri oleh enam perwakilan dari elemen mahasiswa di UINAM yang didampingi oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan.
Tuntutan ini bermula dari adanya penolakan pada surat edaran Rektor UINAM yang mengatur tentang pembatasan penyampaian aspirasi mahasiswa, hingga berakhir dengan penjatuhan surat skorsing terhadap 31 mahasiswa. Upaya hukum telah dilakukan, seperti pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.
Dihubungi oleh reporter pabelan-online.com, Muh Reski, salah satu mahasiswa yang mengikuti RDPU mengungkapkan, pelaporan terkait tuntutan pencabutan Surat Edaran (SE) No. 2591 tersebut berasal dari rekannya, yaitu Muh Ridwan. DPR menyatakan, bahwa mereka berada pada pihak mahasiswa dan secepatnya akan berkomunikasi ke pihak tertentu agar mahasiswa UINAM yang terkena skorsing dapat terpulihkan.
Reski juga menambahkan, hasil pertemuan dalam RDPU belum membuahkan hasil dan berpotensi akan dilakukan kembali apabila belum menemui solusi yang dapat dikeluarkan. Hingga saat ini, pihak Rektorat juga belum memberikan sikap secara resmi terkait usaha yang telah ia upayakan.
“Secepatnya semua tuntutan dapat diterima, pulihkan status mahasiswa, dan kembalikan hak-hak yang kemarin direnggut, salah satunya beasiswa saya,” harap Reski via WhatsApp, Rabu (27/11/2024).
Dalam wawancara dengan pabelan-online.com, Opang, dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Makassar turut memberikan tanggapannya. Ia menyatakan, terkait isu ini FPPI Makassar telah melakukan pengawalan isu sejak pertengahan bulan Agustus 2024, setelah salah satu rekannya di skorsing karena terlibat dalam aksi protes terhadap SE No. 2591 yang diterbitkan Rektor UIN Alauddin.
“SE ini membatasi kebebasan menyuarakan pendapat. Mahasiswa yang ingin berdemonstrasi harus mengantongi izin dari pimpinan universitas. Semua yang di skorsing adalah mereka yang tidak mengikuti prosedur tersebut,” ujar Opang, Selasa (26/11/2024).
Saat ditanya mengenai gugatan yang diajukan ke PTUN Makassar dan hasil RDPU dengan Komisi VIII DPR RI, Opang menyatakan, hingga kini belum ada respons positif dari kampus. Sebaliknya, kampus justru memperbarui SE tersebut dengan menerbitkan SE No. 3652 pada 1 Oktober 2024, yang menurutnya masih sama secara substansi dengan SE sebelumnya.
Opang menjelaskan, bahwa penerbitan SE baru hanya merupakan tindak lanjut dari masukan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman. Namun, pihaknya tidak mengetahui isi masukan dan tanggapan dari ketiga lembaga tersebut.
“Peristiwa di UIN Alauddin ini adalah salah satu bukti nyata masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, larangan berdemonstrasi seperti yang tertuang dalam SE serupa kemungkinan berlaku di banyak perguruan tinggi dan hanya berfungsi sebagai upaya legalisasi pembungkaman.
Ia juga menegaskan, perguruan tinggi yang tidak berlandaskan prinsip kebebasan akademik akan berpotensi memunculkan banyak kasus kekerasan akademik. Perguruan tinggi semacam ini, lanjutnya, biasanya berada di bawah kendali elit kekuasaan, dan UIN Alauddin Makassar menjadi salah satu contohnya.
“Harapan saya, khusus pada teman-teman penyintas beserta keluarga yang membiayai hidup dan kuliahnya. Semoga tidak dirundung kesulitan dan bisa menilai masalah ini dengan bijak serta tetap memperjuangkannya,” pungkasnya.
Reporter: Edgar Ramadhan dan Ferisa Salwa
Editor: Alfin Nur Ridwan