Semenjak disahkannya Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), sejumlah universitas di tanah air mulai disusupi aparat berbaju loreng yang berkeliaran di lingkungan kampus. Antara lain, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Udayana (UNUD).
Sementara itu, berdasarkan Undang Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah alat negara yang berfungsi dalam bidang pertahanan negara dan dilarang terlibat dalam politik praktis serta urusan sipil. Namun, pada 20 Februari 2025 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi UU tersebut. Salah satu poin yang disorot adalah penambahan jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI aktif tanpa harus mengundurkan diri ataupun pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Pengesahan Revisi UU TNI pun menuai banyak kritik karena dinilai berpotensi melanggar prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi. Dengan diberikannya kewenangan bagi prajurit aktif untuk menjabat di instansi sipil, publik khawatir akan terjadi tumpang-tindih kewenangan antara militer dan sipil, serta melemahnya kontrol sipil terhadap militer.
Demi memperoleh jawaban yang mutakhir, pada Kamis, 1 Mei 2025, reporter Pabelan-online.com berkesempatan untuk mewawancarai Aidul Fitriciada Azhari, salah seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sekaligus mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia periode 2016–2018, untuk mengetahui pandangannya terhadap hal-ihwal revisi UU TNI dan ranahnya dalam kampus. Berikut wawancaranya:
Revisi UU TNI menuai banyak kritikan. Apa yang sebenarnya menjadi kekhawatiran publik?
“Anda misalnya jadi pegawai negeri, terus tiba-tiba jabatan anda diambil oleh TNI, mau? Sederhananya seperti itu. Mereka kemudian menduduki jabatan politik yang seharusnya itu adalah jabatan sipil. Jadi bayangkan dia tentara aktif yang menjadi gubernur, menjadi bupati, walikota, bahkan menjadi menteri, dan itu tidak mundur (dari jabatannya-red) semuanya. Mereka aktif (dalam militer-red). Konsep dwifungsi ini mengakibatkan sipil itu dibawah kendali militer. Itu mengakibatkan sistem pemerintahan militeristik.”
Publik begitu khawatir dengan bangkitnya dwifungsi TNI. Bagaimana itu?
“Sederhananya, doktrinnya adalah tentara itu tidak mau hanya menjadi pemadam kebakaran, jadi dia harus terlibat sejak awal dalam kehidupan negara, dalam segala hal. Tentunya tentara itu jangan kalau terjadi kerusuhan baru dikerahkan. Kalau terjadi bencana, tentara baru dikerahkan dalam keadaan kritis, mereka tidak mau.
Mereka tuh maunya dari awal. Dari situ, muncullah doktrin dwifungsi ABRI. Ini doktrin jalan tengah sebenarnya dari Nasution tahun 1957, bukan Soeharto.”
Tidak ada hubungannya dengan Soeharto?
“Tidak ada urusannya sama Soeharto! Jadi doktrin jalan tengah ini kemudian tentara itu fungsinya bukan cuma pertahanan, melainkan juga politik. Maka tentara itu harus masuk ke lembaga-lembaga politik. Lembaga yang dimaksud sebenarnya adalah DPR dan pemerintah.”
Tentara harus masuk ke lembaga politik?
“Pada masa orde lama, sudah muncul perwakilan TNI yang tidak dipilih di DPR. pada masa orde baru itu 20%, jadi dari 500 anggota DPR, 100 orangnya anggota tentara, waktu itu ABRI. Mereka aktif, enak banget. Jadi di DPR punya jabatan, di pemerintahan punya jabatan, belum lagi di birokrasi.
Birokrasi itu paling tinggi sekjen. Mereka kemudian mengambil alih jabatan pegawai negeri, jabatan sekjen, lalu di yudikatif, jaksa, hakim. Sebenarnya itu merusak peradilan juga karena tentara tidak punya kompetensi.
Ketika terjadi reformasi, berubah. Doktrinnya, kan harusnya supremasi sipil; militer di bawah otoritas sipil. Militer tidak boleh memerintah sipil, tapi sebaliknya, sipil yang memerintah. Kenapa? Karena negara ini negara demokrasi yang dibangun pada warga sipil. Pemilihnya warga sipil.”
Tentara tidak punya hak pilih?
“Tidak punya. Jadi selama 25 tahun reformasi itu, dia bekerja sesuai dengan tupoksinya, tugas pokok fungsinya sebagai aparat pertahanan bukan aparat keamanan. Problemnya selama masa Jokowi terutama,”
Kenapa dengan Jokowi?
“Ini problem politik. Jokowi itu banyak memberikan peluang kepada polisi jabatan-jabatan yang dulu secara tradisional dipegang oleh tentara, mulai dikasih ke polisi. Misalnya, intelijen dikasih ke polisi, BUMN dikasih ke polisi, birokrasi dikasih polisi. Jadi polisi ini hampir menguasai seluruh sektor sipil. Memang polisi sipil tapi dia aparat keamanan.
Sekarang polisi menguasai, bahkan ada yang jadi gubernur. Polisi ini luar biasa, bahkan jabatan-jabatan yang seharusnya dipegang oleh tentara, misalnya, intelijen, ya itu polisi. Jadi kesalahan Jokowi itu dia memang memanfaatkan polisi untuk memperkuat jabatannya, dan itu yang membuat tentara itu marah.
Saya kebetulan itu pada saat terjadinya pemisahan antara TNI dan Polri. Saya bekerja bersama Jenderal Wiranto. Dia adalah Menkopolhukam pertama yang mundur dari jabatan sebagai tentara karena dia membuat aturan kalau tentara menjadi pejabat sipil harus mundur, dan dia diangkat sebagai Menkopolhukam.
Menteri itu, kan, jabatan sipil, dia mundur. Usianya, kan 53 tahun; belum waktunya pensiun. Kemudian juga Susilo Bambang Yudhoyono, dia diangkat sebagai menteri pertambangan, kemudian mundur dari tentara.”
Ada itikad baik dari tentara?
“Nah ini, di awal reformasi itu tentara sudah bersedia mundur kembali ke barak.
Tetapi Jokowi ini ngawur juga. Dia itu memperkuat kedudukan polisi, akhirnya jabatan-jabatan yang buat tentara itu habis. Nah, itu mendorong tentara untuk kembali lagi meminta jabatannya. Muncullah UU TNI.
Gagasan mereka, tentara itu betul-betul ingin profesional, tidak mau lagi terlibat dalam dunia politik. Postur tentara modern, bukan yang perut buncit terus kerjanya main catur. Tapi negara tidak menyiapkan. Di sisi lain Jokowi juga ngawur.”
Sejumlah mahasiswa UI yang tengah menggelar konsolidasi didatangi oleh TNI. Bagaimana tanggapan Anda?
“Tidak boleh. Dunia kampus itu tempat yang memiliki kebebasan mimbar yang harus dipelihara, ada kebebasan akademis juga. Terutama kebebasan akademis yang harus dijaga, dirawat, dipertahankan termasuk intervensi dari aparat. Saya kira tindakan TNI tidak proporsional dan tidak patut untuk datang ke kampus hanya untuk memastikan suatu kegiatan. Saya tidak tau untuk apa juga, tetapi dari datangnya sudah tidak senonoh.
TNI itu tidak boleh melakukan intelijen terhadap mahasiswa karena tugas TNI itu pertahanan negara. Kalaupun ada tugas intelijen itu dilakukan bukan oleh TNI, tetapi oleh institusi lain.”
Pendapat anda tentang pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi di Indonesia (Mendikti) bahwa TNI dapat mengajar di kelas mahasiswa?
“Sekali-kali tidak apa apa, tapi buat apa. Orang mengajar itu harus punya sertifikat. Dosen ngajar juga harus punya sertifikat dosen.”
Bisakah TNI mengajar di ranah pendidikan?
“Bisa, ngajar SD (Sekolah Dasar-red). Di Papua, misal di puncak Gunung Jayawijaya susah sekali guru kesana. Tentara bisa ditempatkan di sana. Kalau ke universitas ngapain dia? Kecuali kegiatan kegiatan yang terkait dengan pertahanan.”
Jadi, tidak ada wewenang?
“Jadi gini, ada sebutan OMSP (Operasi Militer Selain Perang). Ada operasi selain pertempuran. Kalau pertempuran itu, kan military konvensional, ancaman konvensional. Sedangkan OMSP itu satu bertujuan untuk menjaga perdamaian.
Kedua, dia melakukan operasi kemanusiaan dan menanggulangi bencana. Mungkin saja dia di Indonesia dengan kaitan membantu pemerintahan sipil, misalnya pengiriman pasukan perdamaian oleh PBB. Kemudian operasi kemanusiaan misalnya pada saat bencana. Bencana Aceh, macam-macam dia melakukan operasi kemanusiaan, misalnya pada saat kelaparan di daerah-daerah yang kesulitan.
Itu tidak mungkin warga sipil bisa turun karena tidak terlatih. Kemudian membantu sipil, terutama pemerintah daerah, misalnya di pelosok-pelosok Papua di mana tidak memungkinkan atau belum ada guru yang bisa diandalkan, tentara bisa dikirim.”
Bolehkah TNI bekerja sama dengan universitas?
“Kerjasama dengan TNI wajar-wajar saja. Tapi dalam konteks, dalam kaitan apa? Intinya, kalau kaitannya dengan OMSP (Operasi Militer Selain Perang-red) lah, misalnya di kampus itu kan ada misalnya Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam-red), rescue, nah itu bisa. Misal mengundang tentara ke UMS, bicara saja konsep pertahanan negara, bagus itu.
Ancaman pertahanan itu kan ada yang bersifat konvensional military attack atau serangan militer, tetapi ada yang non konvensional misalnya pertahanan ideologi. Pertahanan ideologi itu misal dalam pendidikan ideologi itu bisa melibatkan tentara. Itu bagian dari bagaimana tentara mempersiapkan masyarakat termasuk mahasiswa untuk bagaimana mempunyai ideologi yang tinggi.”
Pertahanan ideologi? Contohnya?
“Misal soal pancasila. Itu bagian dari pembinaan pertahanan ideologi negara, dan banyak. Misal ada pemahaman tentang geopolitik, itu harus ditanamkan ke masyarakat.”
Bagaimana potensi Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) akan kembali terjadi jika TNI mulai masuk dalam lingkungan kampus?
“NKK BKK itu mahasiswa tidak boleh berpolitik, berorganisasi dulu nggak boleh. Dulu, organisasi di kampus itu perpanjangan dari partai. Dulu agar kehidupan kampus bebas dari kepentingan politik. Sekarang bukan hanya mahasiswa saja, rektor saja dipilihnya secara politik. Kalau rektor tidak patuh terhadap negara, tunduk dengan presiden, mana bisa jadi rektor?
Bukan hanya mahasiswa, kampusnya juga diintimidasi secara politik. Saya tidak setuju NKK BKK karena saya juga demo. Tapi juga tidak setuju kalau kampus itu menjadi ajang praktik politik praktis. Kalau ajang diskursus politik, gagasan politik di kampus, saya setuju. Orang boleh berpolitik di kampus tapi dalam konteks gagasan.”
TNI katanya tidak akan ke ranah sipil, tapi kenyataannya juga terjadi. Bagaimana itu?
“Sebenernya kalo mengembalikan dwifungsi sebenarnya itu juga tidak, karena tidak ada anggota DPR yang diangkat dari tentara. Kan semuanya dari pemilu. Kemudian sekarang jelas kalau menduduki jabatan tertentu ya harus mundur. Cuman, yang menjadi persoalan itu, kan sejauh mana penegakannya?
Karena banyak sekali tentara yang tidak punya job. Itu masalahnya: ratusan tentara tidak punya jabatan. Itu problemnya, disuruh pensiun, ya tidak bisa. Harusnya memang dibuatkan jabatan.”
Harus diberi jabatan?
“Harusnya tentara ditempatkan di ujung-ujung pelosok, bukan malah kota-kota. Ngapain? Memang musuhnya mahasiswa? Buruh? Konsepnya itu konsep telur. Pada dasarnya rakyat itu lemah, untuk melindungi harus dikelilingi cangkang yang keras. Konsep itu yang seharusnya diterapkan di kita karena di perbatasan tidak ada tentara.
Penggelaran tentara di pelosok-pelosok itu tidak maksimal, harusnya diperbanyak. Itulah tugas tentara. Kalau Kopassus itu boleh karena itu, kan markas. Kita kan punya teritorial, panglima TNI markas besar, Kodam, Korem, Koramil, Kodim. Itu keliru karena itu, kan basisnya masyarakat sipil. Itu kayak pemerintahan militer.
Jadi (harusnya-red) cara berpikirnya bukan tentara tapi pemerintahan. Basisnya kalau di angkatan laut jelas, karena ada armada 1, 2, 3. Tentara Angkatan Darat ini yang salah. Cara organisasi tentara itu yang keliru. Masa ada tentara di tengah pulau?”
Jadi, TNI dan Polri ini harusnya bagaimana?
“Jadi, kalau mau kita, yaitu meningkatkan profesionalisme TNI dan Polri. Polisi itu di bidang keamanan, nggak usah macem-macem, melayani, memberikan rasa aman. Bukan mukuli! Tentara itu untuk keluar, ancaman luar, harus beri fasilitas yang luar biasa, tempatkan di pelosok-pelosok, perbatasan-perbatasan, ada 17 ribu pulau yang harus dijaga.”
Reporter: Herlina Damayanti
Editor: Muhammad Farhan