Mesin Tik Sang Paripurna

LPM Pabelan

Ilustrasi: Pabelan Online/Aqill Adhitya

Liang mataku menyimpan mimpi yang enggan padam. Lipatan kulit keriputku kini menjabarkan bantaran semesta kecil yang telah ribuan purnama kujajaki. Dari lembaran berangka tak seberapa, aku mengais sesuap nasi. Sepanjang langkahku telah menyatu padu dalam lembaran kabar dan prosa yang mampu kurajut.

Sepeda tua berlapis karat pemberian tengkulak Belanda yang diwariskan Ayah kepadaku dan mesin tik berwarna kuning tulang yang kunamai Rojali itu tampak serupa dengan sahabat karib dalam kelanaku. Keseharianku menyusuri jalanan dan harapan menjumpai peristiwa yang laku diwartakan, adalah jibaku yang tak pernah kuimpikan.

Jika surat kabar itu menghilang, kepastian hidupku tentu ikut sirna. Bagiku, surat kabar adalah anugerah. Hari ini, seuntai kiriman surat dari Jakarta lagi–lagi membuat hatiku berdendang, seolah membayar jerih payah pergulatanku dan Rojali sepekan belakangan.

“Kepada: Yth. Sang Paripurna

Tahniah, opini saudara bertajuk ‘Bersahatja Petani dan Buruh Sumatra’ lolos medja redaksi Harian Rakjat edisi Gema Kerakyatan. Pada pekan ketiga bulan September 1965 karya saudara akan diterbitkan.

Jakarta, 8 September 1965

Njoto,

Pimpinan Redaksi Harian Rakjat.”

Meski belum pernah berhadap muka sejenakpun, Bung Njoto begitu menginspirasiku, walau baru paruh akhir, aku masih diberi nafas berkat ratusan paragrafku yang terbit di korannya. 

Sama hebatnya dengan Bung Aidit, namun aku kagum dengan dirinya yang lebih intelek—terlihat dari karya-karyanya yang kubaca di koran, bahkan kala Bintang Merah masih eksis. Terlebih, kabarnya pula Presiden Soekarno melibatkan Bung Njoto di Kabinet Dwikora, elok, ia patut kuidolakan, ia teladan.

Lakunya membungai kembali Partai Komunis Indonesia yang sempat karam selepas Tragedi Madiun 1948, tidaklah hampa belaka. Nama besarnya, juga partainya melambung tinggi, ia lihai mencapainya lewat sorak-sorai yang meneduhkan harapan rakyat.

Orang biasa memanggilku: Sapto, sesosok pria tua yang diriasi uban, tak lagi setengah baya, dengan topi flat cap coklat muda laksana pohon rindang yang senantiasa memayungi dari panas teriknya mentari. ‘Sang Paripurna’ itu nama penaku, yang barangkali tak lagi asing—bagi penyelam kata Harian Rakjat (1958–1964), juga Bintang Merah di tahun-tahun sebelumnya. 

Petani, ialah sebab kelahiranku, bagiku hidup mereka amat jauh dari merdeka. Selepas kompeni Belanda minggat, tengkulak lokal bokongan birokrat dan jejongos imperialis yang mencengkeram jauh terlampau bengis. PKI—menjadi secercah cahaya terang baginya. Aku sekadar ingin suatu hari, petani tak lagi kelaparan dan kehausan bak tanah gersang yang mendambakan hujan. Bila ihwalku ini berdosa, biarkanlah aku tenggelam bersama partai yang kusebut terang.

Disoroti lampu sentir yang samar, seteko cairan hitam pekat dan kepulan asap kretek, aku merakit kata demi kata guna memasak hasil reportaseku ke petani sawit pedalaman Binjai tempo hari. Senangku, sebab mereka petani sawit saat itu tampak berkebun dengan riang, lantas sesekali menyanjung Partai Komunis—juga para pembesarnya. Sorot mata para petani kemarin itu mengisyaratkan cita-cita yang enggan terjerembab.

Suara ketukan seketika menggunting senyapnya kerjaku. Putriku, Naya, membuka pintu secara lembut. “Ayah, besuk ada penyuluhan di dukuh Muara, PKI yang mengadakan,” ujar putriku. “Wah bagus itu, nak.” Balasku, seraya masih menatap konsen ke Rojali dan paragraf yang tengah terpadu. 

“Ayah apakah akan hadir ke sana? Naya mau ikut, Yah!” pekiknya memohon.

Aku menghela nafas sejenak, menjauhkan jari-jemariku dari Rojali, lanjut menatapnya sekarang. “Ayah sebetulnya masih ada kerjaan, Nak. Tapi kalau Naya kepengen datang, besuk Ayah hantarkan.” ujarku tersenyum.

“Terima kasih, Ayah. Naya senang sekali, hihi.” kini wajahnya memerah. Ia begitu senang sepertinya. “Naya tidur dulu ya, Yah. Selamat petang.” Naya kembali menutup pintu lalu pergi.

Arlojiku menegur—waktu telah larut. Aku perlu berbaring, melepas penat. Esok, tenagaku harus siap mengayuh jauh ke Dukuh Muara yang bukan sepelemparan batu dengan memboncengkan Naya yang tubuhnya tak seringan Rojali.

***

Dikelilingi derai-derai embun, aku mengayuh sepeda bergandengan di atas sadel dengan Naya menyisiri jalanan setapak yang berhiaskan ladang dan suasana pagi yang anggun. Kami menyibukkan perjalanan sembari bercanda gurau. Inilah yang kian tak membuatku mengeluhkan pegalnya meski mengayuh berkilo-kilo jarak.

Kawanan burung Kuau Raja melayang meniti angin berputar-putar di ruas pepohonan dan mengepak-ngeapakkan sayap, meliuk lama menunggu mentari merekah bersama silau hangatnya. Ayam bangkok perkebunan bersahut-sahutan melantunkan neraca fajar.

“Kapan Indonesia jadi negara komunis, Yah?” tanya Naya padaku di sela gurau di atas sepeda.

“Tak akan pernah, Nak. Yang pasti, jika komunis menang mutlak, tentu kemerdekaan rakyat terpinggirkan, seperti petani, buruh, yang dielu-elukan, akan lekas terwujud.” jawabku padanya. 

Aku mengimbuhi, “Jikapun komunis menginginkan itu, Ayah juga tidak sepakat. Cukup cara mereka merawat masyarakat kelas proletar—yang dimenangkan, tetapi sistem bernegaranya tetap seperti yang sekarang saja, demokrasi terpimpin.” jelasku.

“Baik kalau begitu, Yah.” 

“Mengapa Ayah tak menyuruhku bergabung Gerwani? seperti teman-teman di kampung,” tanyanya tiba-tiba, yang sontak membuatku tertawa.

“Kenapa harus disuruh? Misal pun Naya berminat gabung tinggal bilang saja ke Ayah. Pasti diizinkan,” aku menanggapinya dengan tawaku belum usai. Naya terdiam cukup lama setelah mendengar jawabanku. 

“Berarti Naya boleh gabung, Yah?” 

“Iya, Nak. Boleh,” ujarku. Pelukannya di pinggangku semakin erat. Ia kegirangan. 

“Yeay! Naya cinta banget sama Ayah!” Naya berseru. 

Meskipun aku terkejut, Naya yang dahulu begitu sengit dengan obrolan politik sewaktu ia duduk di bangku sekolah, kini seakan berbalik arah. Semenjak Ibunya berpulang, dirinya mulai berani mengintip tumpukan koran dan buku-buku yang kusimpan di lemari kamar. 

Ketika aku sadar ia mulai membacanya—aku memilih diam, tak lagi menegur. Toh, aku telah lama selesai membaca halaman-halaman itu.

Perjumpaanku dengan kawan-kawan simpatisan PKI di kegiatan hari ini penuh dengan harmoni. Corak antusias masyarakat menyambut pengadaan penyuluhan serupa dahaga yang menanti segarnya. Tak lupa aku menyisipkan wawancara kecil di tengah riuh tempat penyuluhan, barangkali ada topik menarik yang dapat kutuai.

Sepulang dari penyuluhan aku mengajak Naya mampir makan di warung langgananku semenjak bocah kecil itu masih seumur jagung. Warung kecil yang di bantaran sawah, tak jauh dari tempat tinggal kita. Naya pernah berkata lontong sayurnya sangat lezat—yang membuatnya selalu teringat masakan Ibunya—sekaligus obat rindunya.

Baru duduk sejenak, Naya langsung memesan dua porsi lontong sayur, tetapi kali ini ia meminta yang seporsi dibuat pedas. “Loh, Ayahmu suka pedas?” tanya Bu Nori, pemilik warung itu. 

“Itu buat saya, Buk,” jawab Naya dengan tawa lucunya. “Lagi pengen pedes aja, hawanya sedang sejuk soalnya, hihi.” lanjutnya.

Setelahnya, Bu Nori menyiapkan dua porsi lontong sayur yang dipesan, secepat kilat.

“Ini ya, makannya, selamat menikmati!” Bu Nori menyodorkan hidangan kami sambil tersenyum. 

“Terima kasih, Buk,” ucap Naya. 

Kami menikmati lontong sayur disanding es teh manis dan gorengan hangat. Naya menyantapnya dengan sangat lahap bak merasakan nikmat yang tiada tara hingga tiba pada suapan terakhir.

“Ayah, kali ini Naya yang bayar ya?” 

Aku terkejut sekilas. Sejak kapan anakku macam juragan? 

“Tidak usah. Biar Ayah saja,” bujukku. 

“Sudahlah, Yah, Naya saja yang membayar. Kemarin Naya membantu Darman di ladang, nah… Naya dikasih upah, deh,” 

Aku sekarang tahu mengapa dia tiba-tiba mentraktirku. “Pinter banget anak Ayah. Ya sudah, sekarang Ayah nurut.” jawabku mengiyakan supaya ia lega.

Kenyang menyantap lontong sayur, kami pun menyambung kembali perjalanan pulang, hingga sampai rumah.

Keesokan harinya, ketika aku tengah bersantai di teras rumah membaca buku The Communist Manifesto karya kamerad Marx dan Engels yang belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia—dilengkapi segelas kopi hitam pekat dan rokok. 

Baru sebagian paragraf konsentrasi kubaca, Naya menghampiriku. Ia terlihat berdandan dan berpakaian rapi mengenakan sepatu—penampilan yang jarang kutemui di pagi-pagi sebelumnya, aku sedikit keheranan. 

“Naya pamit ya, Yah, mau ke Dukung Runtang bertemu anggota Gerwani.”

“Naya mau gabung, Yah.” Naya menjabat tanganku. Aku menciumnya, lalu ia pergi menaiki sepeda. “Hati-hati di jalan, ya, Nak!” ucapku sambil melambaikan tangan padanya.

***

Akhir September 1965 bagiku ialah nestapa yang tak pernah dinantikan. Usai koran-koran dan siaran radio ramai mengabarkan pokok penculikan dan pembunuhan enam Dewan Jenderal Angkatan Darat dengan tersangka perencana utama—PKI, aku kerap membayang-bayang, di malamku bersama Rojali, mengetik dengan perlahan. 

Namun, sengkarut pikiranku berkata, entah kapan persoalan buruk, akan segera tiba.

Aku mengirimkan beberapa tulisan setelah kejadian itu, namun tak satupun direspons oleh Harian Rakjat. Khawatirku kian menggebu. Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Deli Serdang, 15 november 1965. Hari itu langit Sumatera Utara bagai kanvas yang menantikan kuas si pelukis ulung menorehkan warna selain kelam. Gejolak murka menggenangi tanah merah, seusai dikompori pamong-pamong desa yang mengaku tangan kanan Negeri, tuk menumpas antek Komunis.

Dini hari yang gulita tak mengenal sunyi. Desir angin yang sendu menjelma bagai senandung yang hadirkan jurang pedih bagi penggema kemakmuran buruh dan petani. Begitu pula yang turut menghampiri wanita-wanita desa—pegiat Gerwani, pendukung gerakan kiri. Harian Rakjat hampir tiga pekan melenyap dari jagrak loper-loper koran pinggir jalan.

“Ayah! Darman dibawa pemuda kampung sebelah. Mereka suruhan Pak Kades!” teriak Naya sambil berlari menerjang lebat perkebunan. Suaranya getir, serak, histeris. 

“Kau harus sembunyi, Yah! Cepat! Pendukung PKI diburu!” serunya dengan wajahnya memerah, berdiri di depan pintu.

“Nak, kau segeralah ke rumah nenek. Biar Ayah nanti mengunci rumah rapat-rapat.” pekikku padanya.

Selepas Naya pergi, aku mulai menutup seluruh bagian luang rumah serapat mungkin. Berharap jikalau massa berdatangan mencariku mereka terkecoh bahwa aku telah pergi dari rumah. Bahkan hampir sebulan, aku tak sering keluar rumah sebab mewanti-wanti suatu yang buruk menimpaku. Nafasku terus menderu kencang, jantungku semacam ditabuh dengan gembruduk.

Tak…tak…tak, aku lanjut menulis di dalam kamar. Dari kejauhan terdengar gemuruh lautan manusia yang memecah senyapnya perkebunan rimbun. Aku tahu mereka semakin dekat.

“PKI wajib mati! Komunis wajib mati! Komunis kafir!” sorak-sorai dari ratusan manusia yang mulai mendekati rumahku di pedalaman kebun.

Aku berhenti menghadap Rojali, berjalan perlahan penuh waspada, melirik dari sela-sela kecil jendela. Aku melihat pemuda, bapak-bapak, dan beberapa pamong desa termasuk Pak RT melebur dalam gerakan penumpasan. 

Kini sasaran mereka adalah aku. Hanya rumahku dan dua tetanggaku yang berada di dalam perkebunan. Pun bukanlah simpatisan PKI sepertiku.

“Keluar Pak Tua! Hei, PKI keluarlah! Woy, Sapto PKI!” teriakan massa bersahut-sahutan. Tentu pada detik-detik ini mereka bukan lagi manusia. Mereka haus darah. Mereka mendidih oleh amarah.

“Pak Sapto.” seseorang mengetuk pintu, dengan tegas. Aku familiar dengan suaranya, kedengarannya itu Pak RT. “Semua bisa diselesaikan baik-baik, Pak Sapto,” cakapnya berlanjut. “Tolong, Pak Sapto keluar dulu!” Nadanya sedikit ditinggikan.

Aku gelagapan, dari teriakan yang menggema sejak tadi, aku tak percaya jika semua akan berakhir baik. Bujuk rayu Pak RT hanyalah bualan semata.

“Pak Sapto… kau akan baik-baik saja, tapi keluarlah, tolong!” ucap seorang yang berbeda. Harapku, ia tak berdusta.

Aku berjalan perlahan mendekati pintu… brak! Pintuku didobrak dari luar. “Tangkap PKI itu!” Aku menyaksikan mereka mengacungkan parang dan sangkur. Apakah aku akan dibunuh detik ini juga? Aku telah pasrah. 

“Ayo ikut kami,” ucap Pak RT. 

Massa mengerubungiku, tanganku diikat, mataku dibungkus dengan karung goni—mirip tahanan perang yang siap dieksekusi.

“Di mana anakmu si pelacur itu,” pekik seorang pria muda. “Anakmu Gerwani, Pak? Apakah benar?” ucap Pak RT. “Tidak pak. Anak saya bukan Gerwani dan bukan pelacur!” Aku berkilah. 

“Bohong! Saya pernah melihat Naya berkumpul bersama pelacur-pelacur itu di Runtang bulan lalu.” “Ayo geledah rumah ini!” sorak pemuda-pemuda yang mengitariku.

Rumahku diobrak-abrik. “Naya tidak ada, pak,” kata seseorang. “Cari ke rumah Bu Mariyam!” Jantungku kembali berdebar, mereka akan segera menemukan putriku. 

“Ayo bawa Sapto jalan dulu.” Suruh Pak RT. Aku diarak begitu jauh sebelum akhirnya aku merasa dilempar begitu keras ke alas besi. Di sini pengap, gerah, tubuhku menyatu dengan banyak orang yang senasib denganku. Namun, mereka semua hening. 

Suara mesin truk yang dihidupkan menggelegar. Aku tahu di mana posisiku sekarang. Truk ini mengebut, suara knalpotnya melengking. Aku tak asing dengan suara yang terdengar—truk ABRI. Tidak berselang lama, truk berhenti, tapi kali ini aku tak mampu menerka-nerka lokasi pemberhentian truk yang membawaku.

“Turunkan bajingan PKI itu!” teriak seseorang dari kejauhan. Aku diseret turun dari truk dan dibawa entah kemana. Aku merasakan mara bahaya mengelilingiku. Aku menginjak rerumputan. Ilalang-ilalang yang panjang menggelitiki tanganku, dan disampingku ada seorang yang merangkul pundakku saat berjalan. 

Sring… Sesekali ilalang itu seperti menyenggol sebilang logam. Aku yakin, orang yang merangkulku menenteng parang, suara gesekannya terdengar sangat dekat.

“Arghhh.” 

“Pak, jangan, Pak.” lolongan itu semakin dekat. Inilah akhirku. Aku mendengar suatu benda dilemparkan ke air. Aku dibawa mendekati sungai. Terdengar pula besi-besi tajam yang diasah pada bebatuan. Aku dihentakkan hingga tersungkur. Bruk! 

Aroma becek tanah berbaur anyir menggerayangi hidungku. Aku memikirkan putriku. Apakah ia akan diperlakukan serupa orang-orang itu? Aku telah gagal menjadi Ayah. Aku payah. Di sela tangisku…Ya Tuhan, selamatkan putriku, aku tak mampu melindunginya. Ayah yang hina. Laknatlah aku! Gumamku.

Karung goni yang mendekap kepalaku dibuka. Aku menelan ludah, mengamati dari lirik mataku yang belum sepenuhnya terbuka. Ratusan orang digiring ke bantaran sungai, kepala mereka ditebas satu per satu—seperti menebas buah yang ranum, kemudian ditendang ke sungai seolah benda yang sia-sia. 

Pemandangan keji macam apa ini, Ya Tuhan?! Perempuan, laki-laki, tua atau muda, semua diperlakukan sama—setelah kepala terpisah dari tubuhnya, mereka dihempaskan ke sungai. Kejadian berjalan begitu cepat. Kini adalah giliran rombonganku. 

“Apa salah kami, Tuan?” ungkapku pada beberapa algojo yang berdiri di hadapanku. “Aku hanya orang tua tak berdaya,” rintihku. “Kita masyarakat sebangsa, mengapa kami harus binasa di tangan bangsanya sendiri?” 

“Kita tidak sebangsa, Pak Tua! Kau komunis, kau musuh! Kau keji, seperti hewan, partaimu itu pengkhianat bangsa!” 

“Dasar tua bajingan, kebanyakan omong!” Plak…seorang dari beberapa algojo menamparku. 

“Ayo segera!” Teriakan dari arah truk diparkirkan. Sorot- sorot senter menyulapkan mataku. Aku diseret ke dermaga bambu, tepi sungai. Kepalaku dihadapkan—menatap air yang mengalir kemerahan. “Lenyaplah kau…PKI!”

***

Bulan November 1965 menjadi akhir dari segala bahagiaku. Kini telah sewindu berlalu, aku belum terlepas meratapi kehilangan Ayah—berlianku satu satunya, yang tak akan ada gantinya.

Saat aku kembali ke rumah, setelah tiga bulan pelarianku ke Lampung—aku hanya menemukan rumahku yang berantakan, pintunya terbuka lebar. Di kamar Ayah, batangan rokok berceceran di lantai bersama Rojali yang penuh debu, dengan kertas tulis yang masih menempel di tubuhnya. Di situ, ada paragraf tulisan Ayah yang tak akan pernah selesai.

Malam itu begitu mencekam. Rumah nenek digedor orang tak dikenal. Mereka mencariku. Mereka berteriak-teriak, memanggilku pelacur dan binatang jalang. Mengetahui hal itu, nenek sontak menyuruhku sembunyi di dalam kompartemen dapur yang sempitnya bukan main. 

Nenek tahu tak akan ada yang mengira seseorang bersembunyi di sana. Di malam itu, aku pun mendengar bahwa mereka telah membawa Ayah pergi, dan akan menghabisinya. Hanya itu kabar terakhir kali tentan ayah yang kutahu. Begitupun kabar dari para rekanku Gerwani, tiada yang pulang ke rumah pasca malam memilukan itu. Mereka semua hilang tanpa jejak.

Aku tak pernah tahu, bahwa nasibku sebagai anak seorang anggota PKI akan berujung demikian. Aku kesulitan mencari kerja, ijazahku tak laku di manapun. Sempat beberapa tahun lalu aku bekerja di perusahaan media. Namun, entah siapa yang membeberkan, direkturku tahu bahwa aku anak seorang komunis. Aku dipecat cuma-cuma, tersipu malu, tak mampu berkutik, sedang aku sibuk bekerja, aku diperintahkan pulang detik itu juga. Gaji terakhirku bahkan tak diberikan.

Kini Komunis resmi menjadi organisasi terlarang di pemerintahan Soeharto. Gerwani turut diberantas dan ditumpas habis beserta organisasi-organisasi serupa. Kubaca dari berita-berita koran, satu setengah juta jiwa yang dicap pengikut partai komunis hanya rentetan bilangan tak bernilai. Koran-koran yang beredar sepanjang tahun seolah menuturkan kegirangannya atas kesedihan kami—keluarga para komunis.

Tiada pernah ada kata maaf keluar dari mulut pemerintah atas pembantaian kejam yang telah dilakukan. Ayahku hanya pelengkap data statistik yang mereka edarkan. Tak ada perlakuan yang dikata pantas, biarpun seujung kuku.

Aku, adalah satu, dari jutaan orang yang tak pernah mendapat keadilan sedikitpun atas luka masa lampau yang tak akan pernah sembuh. Seluruhnya dipersulit untuk sekadar menghirup nafas segar tak tersendat—di negeri yang (katanya) telah merdeka ini. 

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah lirik kosong yang ribuan kali tergaung di atas podium-podium. Bagi kami para keluarga korban pembantaian 1965-1966, keadilan itu hanya kalimat ampang yang diulang-ulang, yang bahkan lebih hina dari kotoran sekalipun.

“Ayah, semoga engkau kekal bergembira di atas sorga. Kini dirimu tak perlu risau akan nasibku. Rojali selalu setia, bagai sang penenang kala kumerindukanmu. Rojali yang senantiasa membantuku, merangkai sajak-sajak yang bisa kujual, untuk setidaknya dapat terus bernafas dan makan selayaknya manusia. Rojali akan kurawat, kujaga, hingga akhir hayatku. Aku berjanji padamu, Ayah. 

18 Agustus 1970

Dari putrimu, Naya Sapto Putri Soviet”  

Aku melarung secarik pesan ini ke sungai ujung kampung, berharap ayah akan membacanya. Agar ia tahu, bahwa aku masih bertahan.

Penulis: Surya Agritama Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Also Read

Tinggalkan komentar