Tembok Itu Bernama Masa Lalu

LPM Pabelan

Ilustrasi: Pabelan Online/Syahda Ekayaniputri Anwarawati

Pagi ini adalah pagi yang paling ditunggu-tunggu oleh Angkasa. Tepat pukul 5, Angkasa sudah berangkat ke kampus yang ia impikan sejak kecil. Dengan Vespa jadul bekas peninggalan ayahnya, Angkasa mulai menyusuri jalan Jatinangor. Sayup-sayup suara burung kutilang dan mentari pagi menemani Angkasa di antara dinginnya jalanan Jatinangor. 

Trang Tang Tang Tang! Mungkin begitulah yang bisa menggambarkan suara Vespa butut milik Angkasa. 

Perjalanan pagi itu begitu syahdu bagi Angkasa sampai tak terasa dia sudah sampai di parkiran Universitas Padjadjaran. Setibanya di sana, Angkasa terkaget. Belum sampai pukul 6 pagi, para mahasiswa baru sudah ramai memenuhi sudut-sudut kampus tercintanya itu.

“Aku harus kemana, ya?” tanya Angkasa pada dirinya sendiri. 

Wajar, dari SMA-nya, Angkasa adalah siswa satu-satunya yang lolos masuk ke UNPAD. Tak seorang pun ia kenali. Sebagai mahasiswa yang diterima di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) dia tidak merasa keberatan untuk langsung mengajak berbincang dan berkenalan dengan orang baru. 

Dari kejauhan, Angkasa melihat perempuan yang tampak sama bingungnya. Tanpa pikir panjang, Angkasa langsung menghampiri perempuan itu.

“Hai….” sapa Angkasa sambil memegangi kedua sikunya.

“Iya.” jawab perempuan yang entah siapa namanya itu dengan datar.

“Maba juga, ya?” tanya Angkasa meskipun ia sudah tahu jawabannya.

Perempuan itu jelas-jelas memakai baju dan celana putih hitam, persis seperti yang ia dan ribuan maba lain kenakan. Maklum, Angkasa selalu tergugup-gugup ketika mengajak ngobrol perempuan yang cantik parasnya.

“Iya, hehe.” jawab perempuan itu dengan senyum manisnya.

“Boleh kenalan, nggak? Namamu siapa? Kenalin aku Angkasa.” tanya Angkasa sambil menjulurkan tangannya. Ia malah mempraktikkan kekikukannya sebagaimana film drama yang ia tonton di FTV.

“Boleh, kenalin aku Raya.” sahut Raya.

Nama yang bermakna “ratu” itu menggambarkan betapa baiknya Tuhan menciptakan keindahannya dalam wujud seorang perempuan bernama Raya. 

Teriakan semangat dari panitia terdengar samar dari kejauhan, “Semangat, Semangat, Semangat” teriak panitia itu di pinggir jalan arah lapangan utama. 

“Eh aku duluan ya….” ucap Raya yang bergegas ke arah lapangan utama meninggalkan Angkasa.

Belum juga aku bertanya asal fakultasnya. Kata Angkasa di dalam hati.

Tak lama kemudian, Angkasa juga bergegas ke lapangan utama—walaupun akhirnya ia kembali sendirian. 

Setibanya di lapangan, Angkasa langsung mengikuti kelompok yang telah dibagi untuk selama berlangsungnya ospek. Angkasa kebagian kelompok dari berbagai fakultas yang berbeda, salah satunya Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).

“Angkasa Kusuma!” seru seorang panitia menyebut namanya. Ia pun bergegas maju ke depan. “Raya Berliana!” Angkasa terhenyak. Yang benar saja? Perempuan yang digandrunginya itu rupanya satu kelompok dengan dirinya. 

Memang kalau sudah jodoh, tak akan ke mana. Gurau Angkasa dalam hati.

“Eh ketemu lagi!” tegur Raya ke Angkasa. 

“Iya, kita bakal satu kelompok buat tiga hari kedepan. Oh iya, kamu dari fakultas apa?” tanya Angkasa sok datar padahal dirinya sedang kegirangan.

“Eum, aku dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis.” jawab Raya.

“Oh, deket dong sama gedungku. Cuma 2 menit.”

“Loh, emang kamu dari fakultas apa?” Raya ganti bertanya.

“Aku di Fakultas Ilmu Komunikasi.” jawab Angkasa.

Jawaban itu menjadi penutup komunikasi mereka pagi itu karena mereka harus segera berbaris untuk mengikuti serangkaian ospek. Sejak pagi, ospek yang mereka jalani baru kelar di sore harinya.

“Huhhh, cukup melelahkan, tapi seru.” ucap Angkasa ke dirinya sendiri.

Kedua mata Angkasa mencari-cara Raya yang tak kunjung ketemu. Padahal, mereka masih satu kelompok. Namun, setelah peserta bubar, Raya langsung bergegas ke halte bus untuk pulang. Wajar jika Angkasa tidak tahu ke mana perginya perempuan idamannya itu. 

Angkasa pun bersiap pulang dan menuju parkiran motornya. Dari tempatnya berada, Angkasa melihat perempuan itu yang sedang duduk sendirian di halte bus. Tanpa pikir panjang, Angkasa langsung tancap gas buat menghampirinya, seperti seorang yang kehausan di Gurun Sahara yang menemukan oase.

“Hai, mau bareng, nggak?” tawaran pertama Angkasa kepada Raya. Ia segera memutar otaknya untuk bernegosiasi dan melanjutkan tawarannya yang belum genap. 

“Gratis. Nggak bayar.” Angkasa menelan ludah.

“Nggak usah. Makasih” jawab Raya datar.

“Udah sore loh, mendung juga.” Angkasa setengah memaksa.

“Iya, gapapa.” Raya.

Angkasa masih punya sedikit harapan.

“Yakin ngga mau?” Angkasa memastikan.

Raya sempat berpikir sepersekian detik untuk menerima tawaran Angkasa.

“Emangnya kamu bawa dua helm?” tanya Raya. Pertanyaan itu bagai angin segar harapan bagi Angkasa.

“Bawa, nih!” menjawab sambil menjulurkan helm cadangan milik Angkasa. Itu adalah tawaran yang tidak bisa ditolak. 

YES! kata Angkasa dalam hati. Raya tidak bisa menolak tawaran itu dan bergegas duduk di atas jok Vespa butut milik Angkasa. 

Di tengah perjalanan mereka membicarakan hal-hal random. Tak peduli dengan bising knalpot Vespa-nya yang memekakkan telinga, itu tak menjadi penghalang obrolan mereka berdua. Toh, yang penting Angkasa bisa berduaan dengan perempuan yang digandrunginya. 

“Rumahmu nanti sebelah mana?” tanya Angkasa.

“Pinggir jalan setelah lampu merah ketiga.”

“Kamu selalu naik bus waktu sekolah?” 

“Nggak juga, ada yang jemput” jawab Raya ragu-ragu.

“Siapa? Pacarmu, ya?” tanya Angkasa penasaran. 

“Iya, tapi sekarang dia udah ilang.” jawab Raya.

Raya bercerita soal masa-masanya di bangku SMA. Ia memiliki pacar yang sangat perhatian. Setiap hari, Raya diantar jemput oleh kekasihnya itu. Tapi hubungan mereka kandas ketika mereka terpaksa LDR karena berkuliah. 

“Oh, berarti aku aman, ya boncengin kamu?” Angkasa memastikan. 

“Iya aman 

aja. Palingan kamu harus berurusan sama cowokku yang di rumah.” kata Raya sambil tertawa kecil.

“Hah siapa?” Angkasa terkejut.

“Ayahku”.

“Oh, okey lah kalau itu nanti aku ketemu ayahmu buat kenalan” Angkasa.

“Boleh” jawab Raya.

DORRR! Ban Vespa Angkasa meletus.

“Eh, eh, eh, kenapa?” tanya Raya khawatir. Vespa milik Angkasa tiba-tiba seperti hendak terpeleset.

Angkasa langsung menepi untuk mengecek Ban Vespa-nya. Dugaan Angkasa benar: Bannya meledak nyaris terlepas dari peleknya. Beruntung ia selalu membawa ban cadangan. 

“Maaf ya, ban motorku meledak. Aku ganti sebentar, paling 15 menit” Angkasa bernegosiasi dengan Raya agar tidak kesal.

“Yahh, okey gapapa.” ujar Raya dengan raut wajah kecewa.

“Kamu duduk aja dulu.” Angkasa menyuruh perempuan idamannya duduk di trotoar jalan.

“Iyaa.” Raya mengiyakan.

Angkasa langsung mengeluarkan perkakas dan ban cadangan yang terpasang di depan leher Vespa-nya. Angkasa mengganti ban Vespa-nya dengan cekatan. Ia sudah lihai dalam urusan perbengkelan. Sejak SMA, dia sudah terbiasa membawa Vespa warisan ayahnya itu, termasuk ketika menangani ban Vespa yang meletus.

Sambil memperbaiki Vespa bututnya, Angkasa kembali menanyakan hal yang membuat Raya teringat kembali dengan laki-laki yang sudah pernah lebih dulu bersamanya.

“Kalau boleh tahu, kamu putus sejak kapan?” tanya Angkasa penasaran. Angkasa seperti terang-terangan menunjukkan ketertarikannya kepada Raya. Kalau ada istilah jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah yang dirasakannya.

“Eumm, udah lumayan lama, sih. Tiga bulan yang lalu. Emangnya kenapa?” Raya bertanya balik.

“Gapapa, sih. Tanya aja, emang kalian berapa lama pacaran?” tanya Angkasa berusaha mendongkel informasi sebanyak-banyaknya dari Raya. Seperti orang yang sedang meriset.

“Sejak kelas 10 SMA. Lumayan lama, sih. Makanya sampai sekarang aku belum bisa sepenuhnya ngelupain dia.” jawab Raya menundukkan wajahnya.

Angkasa terhenyak.

Jawaban itu seketika membuat Angkasa pesimis mendekati Raya. Angkasa masih percaya dengan mitos itu: Masa lalu yang selalu jadi pemenang. Karena hal itu, ia menjadi khawatir saat mendekati Raya, mantannya itu datang di kehidupannya. 

“Yokk, udah nih!” ucap Angkasa mengajak Raya melanjutkan perjalanan pulang.

“Gass!” jawab Raya sambil mengulurkan tangannya bergaya Superman.

Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan sampai di rumah Raya. Namun, sayangnya, ayah Raya justru tidak ada dirumah padahal Angkasa berniat mengajak kenalan.

“Ayah kayaknya belum pulang, deh.” kata Raya kepada Angkasa.

“Yaudah, deh. Kapan-kapan aja kenalannya, besok mau berangkat bareng, nggak?” Angkasa mengajukan tawaran lagi.

“Eumm, nanti aku kabarin, deh.” .

“Okeyy, cari nomor HP-ku di grup kelompok aja.” kata Angkasa dengan harapan yang sudah hilang.

“Iya, hati-hati, yaa, pulangnya.” ucap Raya sambil menutup pintu gerbang.

“Okeyy!” kata Angkasa sok riang.

Di tengah perjalanan pulang, Angkasa ditemani matahari yang sedang terbenam di ufuk barat, seperti dirinya yang tenggelam memikirkan Raya. Hati Angkasa yang sudah ditumbuhi benih-benih cinta itu, seketika hangus karena ia membatalkan rencananya mendekati Raya. 

Cintanya terhalang oleh masa lalu. Ia pulang sambil mendengarkan lagu “Terbuang Dalam Waktu”. Dia terus merenung, menuju Jembatan Cincin untuk bertemu dengan “sosok” makhluk yang ia percayai hidup dan mati.

Selesai

“Barangkali, mitos lebih mudah dipercaya ketimbang ucapan perempuan yang dicintai.”

Penulis: Sean

Also Read

Tinggalkan komentar