“Aku Abimanyu, putra Arjuna; di hadapan mata indahmu, disaksikan oleh desiran angin utara, aku bersumpah: aku belum memiliki istri. Jika aku melanggar sumpah ini, biarlah aku mati di Baratayuddha, di medan Kurusetra.”
Raden Abimanyu, putra Arjuna, mewarisi semua yang dimiliki oleh ayahnya—ketampanan, tutur kata yang lembut, jiwa ksatria yang gagah dan berani. Ia pandai dan sempurna sebagai seorang ksatria. Abimanyu telah menikah dengan Dewi Sundari, putri dari Bathara Krisna. Namun, seperti ayahnya, perlahan muncul sifat playboy yang mulai menyeruak—layaknya lelaki di zaman sekarang, sudah memiliki istri, tetapi masih mencari wanita lain.
Pada suatu ketika, Abimanyu ditugaskan oleh ayahnya untuk mencari pusaka Keris Pulanggeni. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan seorang perempuan, Dewi Utari. Pertemuan itu terjadi di ladang bunga, ditemani angin sepoi-sepoi dari utara. Dewi Utari adalah putri Raja Matsya dari kerajaan Maespati, ibu kota Wiratanagari. Dalam pandangan Abimanyu, Dewi Utari adalah sosok yang sempurna, hingga ia pun melupakan bahwa dirinya telah memiliki Dewi Sundari.
Di setiap malam purnama, Abimanyu dan Utari sering bertemu dan memadu kasih di taman dekat Kerajaan Matsya. Bukan hanya bunga yang sedang mekar di taman, tetapi juga bunga cinta di hati mereka berdua mekar dengan indah.
“Wahai Utariku; bunga-bunga bermekaran atas namamu. Rambutmu yang lembut, bibirmu yang manis, bolehkah aku memilikinya?” demikian rayu Abimanyu.
Seiring berjalannya waktu, hubungan rahasia Abimanyu dan Dewi Utari semakin mendalam. Sebenarnya, Dewi Sundari mengetahui hubungan ini, tetapi ia memilih berpura-pura tidak tahu. Hati Dewi Sundari hancur berkeping-keping, tetapi tak ada yang peduli atau mencoba memperbaikinya. Dewi Sundari tidak keberatan jika Abimanyu mencintai Dewi Utari, asalkan suaminya jujur padanya.
Sosok Dewi Sundari begitu sempurna, dengan rambut hitam legam, senyuman yang bersinar menantang matahari, serta tutur kata yang lembut seperti burung nuri. Namun, Dewi Sundari sangat menjunjung tinggi kejujuran. Sayangnya, Abimanyu tidak peduli dan terus saja berhubungan secara diam-diam dengan Dewi Utari. Bahkan Arjuna, ayah Abimanyu, tak menyadari apa yang dilakukan putranya setiap kali malam tiba dan ia meninggalkan istana.
Setiap malam, seperti biasa, Abimanyu menemui Dewi Utari di taman. Ia memuja Utari dengan tutur katanya yang lembut, seperti seekor buaya yang memikat mangsanya. Dewi Utari mulai luluh, menyerahkan hatinya sepenuhnya kepada Abimanyu, tanpa mengetahui bahwa Abimanyu sudah memiliki Dewi Sundari sebagai istrinya. Abimanyu dengan sengaja merahasiakan hal itu dari Utari.
Setelah cukup lama menjalin hubungan, Abimanyu memberanikan diri melamar Dewi Utari. Saat itu, kabar bahwa Abimanyu sudah memiliki istri mulai terdengar oleh Dewi Utari. Ia pun bertanya kepada Abimanyu, “Kangmas Abimanyu, aku mendengar kabar burung, benarkah Kangmas sudah memiliki istri?”
Dengan tegas, Abimanyu menjawab, “Tidak, Utari! Aku belum memiliki istri. Aku bersumpah di bawah Bathara Candra, di langit malam ini saat aku melamarmu. Jika aku sudah memiliki istri, biarlah aku mati di Baratayuddha, badanku akan tercabik-cabik di sana. Percayalah padaku!”
Dengan keyakinan itu, Dewi Utari akhirnya menerima lamaran Abimanyu, dan mereka menikah tanpa sepengetahuan keluarga.
Setelah beberapa waktu menikah dengan Dewi Utari, panggilan perang tiba. Abimanyu harus memenuhi tugasnya untuk menegakkan keadilan bersama Pandawa. Perang besar dalam sejarah pun pecah, yaitu Baratayuddha di medan Kurusetra. Di sana, Abimanyu bertempur dengan gagah berani, seperti kesetanan. Banyak saudaranya yang gugur, namun Abimanyu terus berjuang. Namun, akhirnya, sumpah yang pernah ia ucapkan menelan dirinya sendiri. Tubuh Abimanyu tercabik-cabik di medan Kurusetra. Ia tewas di tangan Jayadrata.
“Madu dari sumpah palsu kini berubah menjadi racun dan sembilu,” demikian ucapan Bathara Krisna.
Seperti itulah lelaki-lelaki bajingan zaman sekarang. Mereka selalu mengumbar kata-kata manis, lalu akhirnya termakan oleh manisnya sendiri. Setelah itu, mereka merasa paling tersakiti. Dasar bajingan.
Untuk perempuan, berhati-hatilah. Yang terlihat sempurna belum tentu benar-benar sempurna. Justru yang tampak tidak sempurna bisa jadi sebenarnya adalah yang paling sempurna.
Penulis: Buana Tirta Yozaga Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Ferisa Salwa Adhisti