Comfeast, festival tahunan yang digelar oleh mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi semester 6, merupakan salah satu event terbesar yang ada di kampus tercinta kita, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Acara itu bahkan disponsori merek-merek dan perusahaan tersohor di tanah air.
Dalam beberapa tahun ke belakang, acara ini biasanya ditutup dengan konser megah. Saking megahnya, acara ini harus dipersiapkan berbulan-bulan sebelum hari-H. Bagaimana tidak? Festival ini merupakan ajang untuk unjuk gigi bagi prodi ilmu komunikasi. Maka, festivalnya harus dibuat semegah mungkin agar publik menilai bahwa prodi dan mahasiswa ilmu komunikasi di UMS sangatlah keren, hebat, dan membanggakan.
Selama ini, ilmu komunikasi kerap menerima stereotipe berupa ilmu pengetahuan yang hanya belajar berbicara. Padahal, berbicara hanyalah secuil dari sekian banyak praktik komunikasi. Comfeast hadir untuk mematahkan persepsi keliru itu supaya orang dapat mengganti persepsinya, bahwasanya belajar berkomunikasi berarti belajar menyampaikan pesan dengan baik dan benar.
Salah satu upaya mematahkan persepsi keliru di mata publik adalah dengan mengadakan lomba dalam serangkaian acara Comfeast, yakni: Project PR, Konten Persuasif, Short Movie, Feature Radio, Fotografi, Sinematografi, Silent Movie, serta Design Poster. Sederet lomba yang diadakan itu sejatinya menjadi ajang pamer karya mahasiswa Ilmu Komunikasi berdasarkan apa yang mereka pelajari di bangku kuliah.
Pada saat inilah hasil karya-karya mereka nantinya akan diperlombakan dan dipertontonkan dalam festival tersebut. Lagi pula, buat apa mengikuti kuliah bertahun-tahun jika praktik dan hasilnya tak ada?
Namun, sayang seribu sayang. Sebagai festival yang menjadi panggung karya-karya mahasiswa ilmu komunikasi, Comfeast rupanya tidak sepenuhnya mendukung dan mewadahi ragam kompetensi komunikasi mahasiswanya. Sebab, dari sederet perlombaan itu bahkan tak ada yang namanya lomba menulis. Entah karena panitia lombanya lupa, atau memang sengaja ditiadakan.
Tidak adanya lomba menulis seperti paper, opini, esai, cerpen, maupun puisi telah menunjukkan indikasi, bahwa Comfeast seolah tak lagi menganggap tulisan sebagai bagian dari komunikasi. Padahal, media massa manapun selalu memulai medium berita tradisionalnya dari sebuah tulisan.
Toh, kita semua tahu jika koran dan majalah lebih dulu ada daripada radio apalagi televisi. Artinya, sejak dulu, tulisan telah menjadi basis medium untuk menyusun, menyaring, dan menyampaikan pesan. Tapi sepertinya, Comfeast punya pendapat lain, atau bisa juga saya yang keliru.
Ketiadaan itu membuat kecurigaan baru: apakah Comfeast menganggap mahasiswa Ilmu Komunikasi payah semua karena tak ada yang bisa menulis? Atau malah pesimis tak akan ada yang mengikuti lomba menulis karena mahasiswa ilmu komunikasi tak ada yang tertarik berlomba menulis? Atau jangan-jangan Comfeast menyangka bila tulis menulis sudah tidak relevan lagi di era sekarang?
Kecurigaan pertama sudah jelas karena mahasiswa ilmu komunikasi –lebih tepatnya seluruh prodi–yang suka membaca buku sangatlah langka. Silakan cek saja lingkungan sekitar kampus, kapan terakhir kali menyaksikan mahasiswa mondar-mandir menenteng buku bacaan?
Cek saja dari sekian ratus mahasiswa prodi keempat angkatan itu, siapa yang hingga hari ini masih doyan membaca berita media massa? Mereka lebih suka mengonsumsi berita terbitan media homeless seperti USSFEEDS, Folkative, dan sebangsanya. Miris sekali.
Ilmu yang mereka pelajari bahkan berhubungan erat dengan media massa, sebuah instrumen yang menjaring informasi dan menerbitkan berita. Mereka mempelajari komunikasi massa, media baru, hingga teori persuasi—tetapi praktik menulis yang menjadi fondasi setiap informasi nyatanya malah dikesampingkan bahkan tidak dianggap.
Walaupun tren saat ini memang menggeser konsumsi publik ke konten audiovisual, bukan berarti kegunaan teks bisa diabaikan bahkan ditinggalkan begitu saja. Platform berita yang dulu hanya mengandalkan artikel, kini wajib menghadirkan konten audiovisual demi dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Mereka tak punya pilihan lagi selain harus dua kali bekerja: menulis artikel di laman dan menyalinnya ke YouTube, Spotify, dan platform serupa.
Namun, media tak sepenuhnya salah karena mereka memiliki kepentingan bisnis. Bagi mereka traffic adalah segalanya. Alasan media pragmatis saja, publik lebih suka mengonsumsi konten audiovisual. Maka, mau tak mau, media harus melakukannya. Toh, mereka bukan beralih dari tekstual ke audiovisual; mereka hanya merambah dari tekstual, juga ke audiovisual. Itu bukan berarti malah lantas meninggalkan konten tekstual.
Bedanya dengan Comfeast, festival ini memandang bahwa hal-hal yang berkenaan dengan tulisan, termasuk lomba menulis, agaknya sudah tak relevan lagi untuk dijadikan konsumsi publik apalagi dijadikan kompetisi. Dari sekian ratus panitia penyelenggara Comfeast sepertinya tak tahu menahu jika kampus-kampus lain juga kerap mengadakan lomba menulis.
Tak perlu jauh-jauh, mari tengok kampus tetangga, yang setiap tahunnya, Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan UNS rutin menggelar Kentingan Journalism Week yang berisi lomba esai, opini, puisi, dan cerpen. Ormawa dan UKM di berbagai universitas lain pun secara konsisten membuka kompetisi menulis serupa—bahkan beberapa menyelipkannya dalam agenda semesteran. Padahal, mereka tak sebesar Comfeast yang diselenggarakan oleh satu angkatan prodi.
Comfeast sepertinya tak tahu tradisi ini, atau jangan-jangan malah sengaja mengabaikannya karena panitianya hanya tahu soal memburu lomba film, produksi podcast, dan desain poster saja, tanpa memberi ruang bagi talenta tulis-menulis mahasiswanya. Sekali lagi, bisa-bisanya dalam festival semegah ini, di antara sekian aneka ragam lomba, justru tak ada lomba menulis?!
Dalam bayangan penyelenggara lomba di Comfeast, besok-besok, boleh jadi surat keputusan, jurnal-jurnal, makalah, undang-undang, hingga skripsi sepertinya akan dipublikasikan dalam bentuk podcast atau video klip. Apa itu menulis skripsi? Yang ada hanyalah syuting skripsi, syuting jurnal, dan rekaman-rekaman jurnal, serta undang-undang. Penandatanganan perjanjian pun tak lagi dinamai hitam diatas putih.
Mahasiswa, khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi yang memiliki potensi hebat dalam menulis, besok-besok harus mulai berlapang dada, dan tak perlu berharap-harap bakal diapresiasi kompetensinya. Boro-boro diapresiasi, wadah untuk kompetisinya saja ditiadakan.
Ketimbang menanti ajang kompetisi menulis di Comfeast, berusaha mati-matian mengirim tulisan hingga dapat menembus meja redaksi media massa tampaknya jauh lebih membanggakan daripada hanya memiliki sertifikat pernah berlomba di Comfeast. Toh, bagi penyelenggara Comfeast, tulisan sudah tak lagi relevan untuk dijadikan kompetisi. Lebih-lebih, bagi mereka, tampaknya tulisan sudah tak cocok dijadikan medium untuk berkomunikasi.
Penulis: H