Segar dalam ingatan Ahmad Ramzy, saat menyadari dirinya menjadi korban doxing, alih-alih panik dan cemas, respons pertama kali mantan Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika itu adalah tertawa. Hari itu, Senin, 1 September 2025, wajah dan identitasnya tersebar luas di media sosial dan kampusnya, UIN Salatiga. Ia dituding sebagai dalang kerusuhan di Salatiga pada akhir Agustus lalu.
Di kampus, informasi itu datang secara top-down, dari Polres kepada rektorat, diturunkan kepada dekanat, dan seterusnya. Ia mengaku mendapat perlindungan dari Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Suwardi.
“Itu beliau, jujur, malahan mencoba untuk melindungi ya, melindungi aku bahwa aku tidak bersalah gitu, dan itu juga dinarasikan ke beberapa dosen dan pejabat-pejabat di kampus,” kata Ramzy saat diwawancara via Google Meet, Senin, (22/9/2025).
Awalnya, Ramzy memang sempat bertingkah kemaki, “Sampai bilang ke teman-teman kalau aku musuh besar mereka,” ujar Ramzy terkekeh.
Meskipun, secara mental, ia mengaku kalau kondisinya baik-baik saja, ia malah semakin marah karena merasa diperlakukan tidak adil. Malahan, ketika dirinya diekspose, alih-alih memikirkan nasib diri sendiri, ia menanyakan kabar teman-temannya yang lain. “Mereka aman atau nggak?” ucapnya.
Tak berselang lama setelah informasi doxing itu, ia langsung menonaktifkan akun Instagram miliknya dan mengganti nomor ponsel untuk membatasi akses komunikasi dengan siapa pun.
Ada dua skema yang telah ditempuh Ramzy dalam membawa kasus ini ke ranah hukum. Salah satunya adalah melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan Pusat Bantuan Hukum (Pusbakum) UIN Salatiga. Ia mengaku sudah mengadakan dua kali pertemuan dengan Pusbakum.
“Fokusnya mencari sumber sekunder, siapa yang menyebarkan pamflet-pamflet tuduhan itu. Menurutku ini memang harus dibawa ke ranah hukum, demi nama baik,” ujar Ramzy.
Sejauh ini, kata Ramzy, pelaku primer penyebar doxing itu masih sebatas asumsi. Dugaan kuatnya mengarah kepada Polisi Resor (Polres) Kota Salatiga. “Karena satu-satunya pihak yang pernah meminta urusan administratif adalah mereka, ketika mengirim foto KTP untuk Aksi Kamisan,” terangnya.
Menurut Ramzy, sejauh ini Polres Salatiga masih menuding dirinya sebagai dalang kerusuhan karena informasi doxing itu. Hal itu dikarenakan surat kuasa Ramzy belum terbit dan belum dikirimkan ke Polres, sehingga belum ada keterangan resmi bahwa Ramzy tidak bersalah. Sementara itu, cara meluruskan informasi itu adalah adanya kejelasan pelaku penyebar doxing sekunder.
“Kalau sudah ada bukti penyebaran, baru bisa dijadikan pegangan,” ucap Ramzy.
Mengenai dampak dari doxing itu, Ramzy menemukan beberapa hal. Pertama, di grup WhatsApp kampus, yakni dari mahasiswa kampus kemudian menyebar ke grup kampung, sehingga beberapa warga kampung mengetahui informasi itu. Kedua, saat mengecek di warga lokal, rupanya di kampung tertentu tidak ada informasi tentang dirinya, tetapi ada di kampung yang lain.
Ketiga, di Facebook, ada sebuah akun yang mengunggah dengan takarir seolah bertanya “Iki tenanan cah?” (ini benar orangnya?). “Jadi persebarannya tidak merata, tapi cukup luas,” tuturnya.
Ia menilai dampak dari doxing itu lebih pada non-material. Saat ini, Ramzy belum bisa menghitung secara pasti sejauh mana informasi tentang dirinya tersebar. Misalnya, informasi itu sampai di kampung A, maka besar kemungkinan, citranya di kampung itu buruk, sedangkan di kampung B tidak ada, berarti aman. “Jadi ada tempat di mana namaku dianggap buruk, ada juga yang tidak tahu,” jelas Ramzy.
Tiga orang teman Ramzy mendatangi LBH Semarang pada malam hari tanggal 16 September 2025. Mereka bercerita soal kronologi awal, sebelum Ramzy menjadi korban doxing.
Model doxing yang menimpa Ramzy berbeda dengan kasus-kasus yang biasanya dilakukan lewat akun-akun media sosial Instagram dengan jumlah pengikut yang besar. Di Semarang, doxing umumnya muncul lewat akun-akun Instagram anonim. Namun dalam kasus Ramzy, berdasarkan penjelasan temannya, data pribadinya justru disebar lewat grup-grup RT/RW.
Dari obrolan tanggal 16 September itu, mereka menyepakati bahwa LBH Semarang hanya akan membersamai proses ini. Alasannya, Ramzy sudah mendapat pendampingan hukum dari Pusbakum UIN Salatiga. Maka untuk sementara, LBH Semarang tidak masuk dalam surat kuasa, dan pendampingan sepenuhnya masih dipegang oleh Pusbakum UIN Salatiga.
“Tapi tetap update, sampai sekarang kondisinya gimana gitu ya. Terakhir kemarin aku lupa tanggal berapa, katanya sudah penandatanganan surat kuasa gitu. Surat kuasa rencana pelaporan ke Polres Salatiga,” tutur Bagas selaku Staf Advokasi Bidang Sipil dan Politik LBH Semarang via WhatsApp, Sabtu, (27/9/2025).
Soal pelaku doxing, hingga kini, Bagas belum bisa mengetahui siapa pelakunya. Ia tidak menampik kemungkinan jika pelakunya adalah aparat, karena biasanya, pelaku doxing menggunakan akun anonim untuk menyebarkan data pribadi. “Alternatifnya sebenarnya bisa dilacak lewat aplikasi seperti Get Contact dan lain-lain,” ujarnya.
Menurut Bagas, doxing sendiri bukan hal baru. Di Semarang, kasus serupa cukup sering terjadi. Misalnya, pasca Aksi May Day, banyak aktivis yang fotonya disebar dan identitasnya dibongkar. “Karena memang ini jadi cara paling ampuh untuk menggembosi gerakan dan menakuti teman-teman gerakan di Semarang,” jelasnya.
Pihaknya telah mengusulkan agar pihak kampus membuat pernyataan sikap. Namun, kata Bagas, pihak kampus belum siap untuk melakukan itu. Mereka beralasan, kalau kasusnya hanya sebatas doxing, kampus belum bisa membuat pernyataan resmi. “Baru kalau nanti ada penangkapan, kampus akan membantu,” kata Bagas berdasarkan update yang diterima.
Bagas tidak menampik soal dugaan kuat yang mengarah kepada aparat. Senada dengan Ramzy, kecurigaan itu muncul karena sebelum kejadian itu, Ramzy pernah menyerahkan KTP dan identitasnya ke pihak yang bersangkutan, untuk administrasi Aksi Kamisan.
“Ceritanya begitu kemarin. Nah, setelah beberapa hari kemudian, aksi, terus akhirnya data pribadinya Ramzy disebar,” tutur Bagas menjelaskan dugaannya.
Namun, LBH Semarang justru tetap mendorong adanya pelaporan pidana ke Polres Salatiga. Misal pun nanti tidak ditindaklanjuti oleh Polres Selatiga, setidaknya itu bisa menjadi upaya pencegahan agar pelaku tidak melanjutkan doxing. “Biar ada legitimasi bahwa Ramzy ini bukan provokator dan lain-lain,” tuturnya.
Pabelan-online.com belum bisa mengonfirmasi keterangan itu kepada Polres Kota Salatiga. Pihaknya tidak merespons daftar pertanyaan yang dikirim sejak Sabtu, (27/9/2025).
Admin WhatsApp Pusbakum UIN Salatiga menyatakan belum sampai pada proses penandatanganan surat kuasa. Ia mengarahkan reporter pabelan-online.com mewawancarai pihak LPM Dinamika via WhatsApp.
“Kemarin kami sudah mengarahkan kepada LPM Dinamika juga, karena semua bukti di WhatsApp dan screenshot (tangkapan layar –red) di WhatsApp teman-teman. Jadi kita menunggu teman-teman LPM untuk hasil dari pengumpulan bukti,” kata Admin Pusbakum UIN Salatiga, Sabtu, (27/9/2025). Ia memohon maklum karena belum bisa memberikan keterangan beberapa informasi.
Pabelan-online.com telah mengirimkan surat permohonan wawancara kepada Wakil Rektor II UIN Salatiga Suwardi melalui nomor WhatsApp Humas UIN Salatiga pada Minggu, 28 September 2025. Namun, hingga berita ini terbit, pihaknya belum memberikan respons.

Berdasarkan kronologi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, sebelumnya beredar pesan berantai di grup WhatsApp atau media sosial bahwa anggota AJI dituduh sebagai biang kerok kericuhan demo di Salatiga, pada Jumat. Pesan itu berupa teks, foto identitas, KTP, dan foto Ramzy dengan tulisan provokatif “lni adalah orang yang membuat situasi salatiga menjadi tidak aman”, juga biodata Ramzy sebagai mahasiswa.
Demonstrasi itu diinisiasi sebagai aksi dukungan terhadap pengemudi ojek online (ojol) di Lapangan Pancasila Salatiga Berdasarkan informasi, sekitar pukul 19.30, beberapa ojol melarang massa aksi mahasiswa dan masyarakat sipil untuk bergabung. Kemudian massa aksi memilih untuk berdoa di depan Tugu Pancasila, Salatiga.
Pukul 20.00, massa aksi menggelar tabur bunga dan lilin untuk mendoakan korban demonstrasi, dan dilanjutkan longmarch mengitari Lapangan Pancasila dan melewati Polres Salatiga. Lalu pada pukul 21.00 mahasiswa membubarkan diri, namun sebagian massa masih bertahan.
Setengah jam kemudian, 21.30, terjadi bentrokan dengan aparat yang menembakkan gas air mata ke arah massa dan permukiman. Hal itu mengakibatkan sejumlah warga, termasuk anak kecil dan penderita asma dilarikan ke rumah sakit.
Hingga pukul sepuluh malam, tembakan gas air mata berlangsung sekitar 15–20 kali. Setelah itu muncul desas-desus akan ada demonstrasi lanjutan pada 30 Agustus 2025 yang ternyata tidak terjadi. Hal itu diduga hanya merupakan framing untuk sweeping di Salatiga. Pada 1 September 2025 malam, beredar informasi tidak bertanggung jawab yang menyebut Ahmad Ramzy sebagai dalang kerusuhan.
Jumat, 3 September 2025, akun Instagram @klikdinamika mengunggah postingan yang membantah tudingan Ramzy sebagai biang kerok kerusuhan di Salatiga. LPM Dinamika menghimbau agar seluruh sivitas akademik maupun non-akademik untuk lebih kritis dan tidak mudah memercayai informasi yang tidak jelas sumbernya. Akun itu juga menaikkan tagar #SaveRamzy.
Pemimpin Umum LPM Dinamika Izlal menyebut saat ini pihaknya masih menelusuri sumber awal penyebaran doxing serta tuduhan yang dialamatkan kepada Ramzy. Prosesnya, kata Izlal, belum sampai pada tahap penandatanganan.
“Pertemuan terakhir dengan pihak Pusbakum baru sebatas pelaporan dan penyusunan surat kronologi,” ujar Izlal via WhatsApp, Minggu, (28/9/2025).
Menurutnya, bukti yang ada sejauh ini belum cukup kuat. Alasannya, pamflet yang ditemukan sudah berulang kali diteruskan. Selain itu, menghubungi nomor penyebar sebelumnya pun, kata Izlal, sangat sulit dilakukan.
Tak hanya mencari bukti tambahan, pihaknya juga meminta dukungan dari pihak luar, seperti halnya kepada LBH Semarang untuk perlindungan korban dan Pusbakum UIN Salatiga untuk membantu proses pelaporan. “Serta SAFEnet untuk menelusuri sejauh mana penyebaran doxing ini berlangsung,” jelasnya.
Reporter: Muhammad Farhan
Editor: Aqill Adhitya