“Matamu merah, apa kau sakit?”
“Ya!” Ayahnya begitu malas untuk meladeni pertanyaan Rio Kutluk. Ia tahu, sekali bertanya anak itu bisa membuatnya serupa sepuluh pertanyaan, selalu menjalar ke pertanyaan berikutnya, atau tak jarang sekali bertanya sama sulitnya dengan pertanyaan kaum intelek yang amatir.
“Kenapa tak kau pergi berobat?, orang sakit butuh obat, seperti halnya orang lapar butuh makanan,”
“Siapa yang mengajarimu demikian, bocah?”
“Ibu.”
“Jangan dengarkan Ibumu. Orang lapar tak butuh makanan, mereka butuh kenyang. Sama halnya dengan orang sakit, mereka tidak butuh obat, yang mereka butuh adalah kesembuhan, betapapun caranya untuk mewujudkannya.” Ayahnya berbicara dalam setengah normal, sisa mabuk semalam masih berperan.
“Lalu apa caramu untuk mewujudkan kesembuhan?”
“Ahh!, sudahlah, pergi main sana, atau lebih baik kau pijit punggung Ayah saja, sini cepat!” Ayahnya melambai-lambai pada Rio Kutluk, walaupun dalam mata tertutup dan tangannya salah arah; Rio Kutluk berada di sebelah kiri, sedang tangannya melambai-lambai di sisi kanan.
……
Bersambung…
Penulis adalah Prasetiyo Leksono Nur Widodo. Mahasiswa Teknik I