Rio Kutluk memahami, pada siapa Ibunya berteriak. Teriakan itu sering terdengar pada saat Ibunya mengejar-ngejar kucing yang kerap mencuri makanan di dapur, “Kucing, bangsat!” meskipun dengan kalimat berbeda, tetapi intonasinya serupa.
Tak seberapa lama Ibunya melahirkan adiknya di depan matanya. Seonggok daging dibalut cairan merah yang anyir. Sebuah tali yang berasal dari pusar melilit leher bayi itu. Bayi itu menangis menjerit-jerit sementara Ibunya semakin tergulai lemas, bahkan nyaris tak bergerak. Rio Kutluk memandang bayi merah di depannya, begitu banyak pertanyaan yang hendak ia ajukan pada Ibunya. Tetapi Ibunya sudah mati bahkan sebelum ia hendak mengajukan pertanyaan.
Rio Kutluk membenci darah setelah itu, mungkin lebih tepatnya takut. Orang sakit masih bisa disembuhkan, tapi orang berdarah akan sulit disembuhkan, betapapun ia menjilat habis darahnya sendiri. Bayi di depannya pun sudah tak menangis lagi, menyusul induk yang telah lebih dulu pergi.
Tak ada yang bisa menyalahkannya kecuali Ayahnya. Ia bodoh dan mentalnya terganggu sedari lahir. Dan dengan perasaan bingung, cemas, dan takut, maka semakin bodohlah ia dalam menangani suatu masalah. Ia terus dipukuli Ayahnya akan kebodohan itu, memaki-maki bahkan dalam keadaan mabuk sekalipun,
“Anak bodoh!”
“Anak bangsat!”
“Anak anjing!”
Bersambung…
Penulis adalah Prasetiyo Leksono Nur Widodo. Mahasiswa Teknik Industri.