UMS, pabelan-online.com – Rencana Proyek Strategis Nasional (PSN), Rempang Eco City Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau berujung pada represifitas aparatur pemerintah kepada masyarakat setempat. Hal tersebut didasari penolakan relokasi warga terdampak. Menyoal kasus ini, mahasiswa sebagai penggerak berikan respon.
Melansir dari kompas.co rencana Pulau Rempang tersebut akan dibangun suatu kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat.
Rempang Eco City yang digarap Perseroan Terbatas (PT) Makmur Elok Graha (MEG) kepemilikannya dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata, konglomerat pemilik Grup Artha Graha.
Rempang Eco City ini ditargetkan menarik investasi hingga mencapai 381 triliun rupiah pada tahun 2080 mendatang. Faktanya, rencana tersebut mendapat penolakan warga sehingga terjadi bentrokan. Terlebih aktivitas pembelajaran anak sekolah terpaksa dihentikan.
Melansir dari Bisnis.com, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Batam (AMB) menyampaikan sejumlah tuntutan terkait polemik Pulau Rempang saat berdiskusi dengan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Batam, Nuryanto di Gedung DPRD Batam, Jumat (15/9/2023).
“Tujuan kedatangan kami di DPRD Batam ini guna mempertanyakan hal tersebut. Kami dari mahasisawa Batam meminta agar persoalan yang ada bisa segara dicarikan solusi yang terbaik bagi masyarakat,” ujar Andre koodinator AMB pada Jumat (15/9/2023).
Kemudian ia juga mendesak pemerintah untuk terus melakukan sosialisasi transparan kepada warga lokal, dan terakhir meminta Badan Pengusahaan (BP) Batam agar 16 titik kampung tua dapat dipertahankan dan tetap mendukung pembangunan PSN, yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat di Kawasan Rempang.
“Dan kami berharap pemerintah bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di Rempang. Kami sangat kecewa,” Harapnya.
Dihubungi oleh tim reporter Pabelan-online.com Zidanul Akhsan, selaku aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)Sukoharjo beranggapan, tindakan represif tersebut perlu mendapatkan kecaman. Ia menolak dengan keras atas represifitas yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Lanjutnya, aparatur seharusnya bertugas mengayomi, memberikan rasa aman, dan kesejahteraan masyarakat.
“Bukan malah dengan menakut-nakuti, melakukan penangkapan secara paksa, pelemparan gas air mata sembarangan. Maka saya rasa hal tersebut sudah melanggar kode etik daripada aparatur pemerintah, yang katanya mengayomi masyarakat,” ungkapnya, Kamis (21/9/23).
Menurutnya mahasiswa yang notabene Agent of Change, perlu mengawal politik atau kebijakan daripada pemerintah.
“Nah, ini menjadi PR kita bersama sebagai mahasiswa, terutama bagi mereka yang aktif dalam organisatoris perlu mengawal sampai tuntas karena lagi-lagi siapa yang bisa memberikan intervensi kepada pemerintah jika bukan mahasiswa,” tambahnya.
Zidan menambahkan, bahwa ia bersama rekan IMM masih dalam tahap pengkajian isu untuk dibahas, diketahui bersama, dan kemudian akan diselesaikan permasalahan tersebut.
“Kemarin kita sudah dapat hasil kajian yang dilakukan Lembaga Badan Hukum (LBH) milik Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Yaitu, pada intinya LBH PP Muhammadiyaj mengecam tindakan pemerintah tersebut. Meminta aparat disana untuk membebaskan tahanan dan memberhentikan polisi maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di kawasan tersebut,” tambahnya.
Zidan juga berharap, pada aktivis maupun organisatoris untuk mengawal tindakan represifitas tersebut. Menurutnya aparatur pemerintah sendiri sudah tidak mengayomi.
“Pemerintah harus melihat lebih jauh, walaupun tujuan tersebut baik untuk meningkatkan pendapatan negara dan menarik investor. Tapi yang salah di sini pemerintah tidak melihat lebih dalam bahwasanya ada masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal, ketenangan. Yang mana hal ini menjadi sebuah pokok permasalahan,” tutupnya.
Reporter: Shafy Garneta Maheswari
Editor: Nimas Ayu Sholehah