UMS, pabelan-online.com – Budaya penggunaan skincare sekarang ini menjadi salah satu kebutuhan sekunder Mahasiswa. Seiring dengan arus globalisasi pula, trend fashion dan budaya skincare semakin pesat perkembangannya. Skincare dianggap menjadi rangkaian yang wajib disadari bukan hanya oleh mahasiswa namun oleh seluruh orang.
Seiring dengan laju globalisasi dan perkembangan teknologi yang mendunia, gaya hidup seseorang dapat terpengaruhi dengan mudah. Gaya hidup seseorang akan mudah berubah sejalan dengan tren-tren kecantikan dan fashion yang terus bergerak.
Perubahan gaya hidup serta tren fashion paling digandrungi oleh generasi milenial, biasanya terdiri dari remaja serta mahasiswa. Hal ini terjadi karena remaja dan mahasiswa dianggap lebih up to date dalam mengikuti perkembangan zaman, pada akhir usia belasan tahun hingga awal dua puluh banyak dari mereka masih mencari identitas diri mereka. Hal ini seringkali dilakukan dengan perubahan gaya fashion maupun perubahan secara fisik.
Seperti halnya dengan Shafna Dinar Aulani Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang kini tengah mengambil Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) semester tiga. Sejak awal dirinya telah jatuh cinta pada dunia perawatan kulit. Shafna menganggap bahwa urgensi skincare merupakan bentuk kesadaran diri untuk merawat diri sendiri.
Terlebih dengan perkembangan teknologi yang memudahkan semua orang dalam mengakses informasi, sekarang ini semua orang tidak memandang umur mampu mempelajari kondisi dan kebutuhan kulitnya dengan mudah. “Ditambah lagi masuknya budaya asing kaya k-pop kan juga menjadikan gaya hidup k-beauty semakin popular di Indonesia,” imbuhnya, Jumat (24/11/2021).
Shafna mengungkapkan bahwa sekarang ini mahasiswa cenderung berusaha mengejar hasil daripada mempertimbangkan kesehatan kulitnya. Masih banyak mahasiswa yang menggunakan skincare abal-abal karena hasil yang didapatkan cenderung cepat dan glowing. “Aku miris banget sih, mungkin mereka saat ini merasa glowing tapi pasti akan ada efek jangka panjang kalau menggunakan produk abal-abal.” terangnya.
Shafna membantah stigma bahwa budaya penggunaan skincare serta mengikuti tren fashion merupakan bentuk dari hedonisme. Secara transparan Shafna membeberkan pengeluarannya untuk penggunaan skincare hanya berkisar Rp250.000,00 perbulan. Ia sengaja mematok bujet yang tidak terlalu tinggi untuk kontrol dirinya, Shafna juga secara bangga menggunakan produk lokal yang relatif murah namun tetap berkualitas tinggi.
“Aku sendiri masih pakai produk lokal drugstore yang terjangkau harganya. Menurutku worth it karena aku merasa kulitku terawat dan sehat,” tuturnya, Jumat (24/11/2021).
Sekarang ini industri skincare serta fashion bergerak pesat seakan tidak ada hentinya dalam mengeluarkan inovasi. Hal ini jika tidak disikapi dengan bijak oleh para pengguna maka, fenomena hedonisme maupun takut ketinggalan tren tidak dapat terhindarkan. Perlunya kontrol diri mampu membantu mahasiswa agar kebutuhannya tetap terpenuhi dan seimbang.
Banyak dari mahasiswi kini memliki pola implussive buying dan akhirnya membenuk pola konsumtif yang tidak sehat. “Kalau kita terus menerus mengikuti tren karena takut ketinggalan zaman nanti akan muncul masalah lain seperti hedonisme. Jadi memang perlu punya kontrol diri,” ucap Shafna, Jumat (24/11/2021).
Shafna kembali menegaskan bahwa urgensi perawatan diri sebenarnya relatif pada diri masing-masing. Melihat kebutuhan serta kemampuan diri merupakan kunci utama dari kontrol diri dalam budaya skincare yang tengah menjamur saat ini. Menurutnya, mengikuti budaya skincare serta trend fashion bukan untuk memenuhi standar kecantikan karena cantik tidak harus memiliki kulit putih atau glowing. “Setiap orang punya persepsi sendiri tentang keindahan. Kamu bisa jadi cantik dengan caramu sendiri,” tutupnya, Jumat (24/11/2021).
Sependapat dengan Shafna, Diah Ayu Mutiara mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Program Studi Teknik Kimia semester 7 menganggap bahwa budaya penggunaan skincare dan berpakaian di kalangan mahasiswa merupakan hal positif. Hal ini karena skincare dan berpakaian juga salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan diri seseorang.
Diah juga membagikan pendapatnya mengenai stigma yang beredar. Menurutnya, mengikuti tren fashion maupun skincare tidak harus mahal. Terlebih dengan menjamurnya E-commerce yang menyediakan harga skincare maupun baju lebih murah daripada toko offline. Ia juga memaparkan bahwa tidak harus mengikuti seluruh perkembangan tren fashion maupun skincare. Karena kedua hal tersebut kembali pada kebutuhan diri sendiri.
Tidak semua tren fashion cocok digunakan untuk seluruh tipe tubuh, tidak juga skincare yang viral cocok untuk segala jenis kulit. “Aku tidak saklek mengikuti trend fashion. Mungkin bisa sebagai acuan saja yang penting nyaman serta cocok dipakai,” ungkap Diah saat diwawancarai via WhatsApp, Jumat (24/11/2021).
Berbeda dengan Shafna, Diah membeberkan bahwa pengeluarannya dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan skincare serta fashion berkisar antara Rp500.000,00 – Rp1.000.000,00. Walaupun begitu, ia menegaskan bahwa jumlah pengeluaran setiap orang pasti berbeda karena mempertimbangkan kebutuhannya pribadi. Ia mengungkapkan bahwa setiap bulan ia akan menyisihkan uang saku yang diberikan orang tuanya dan mengaturnya sebaik mungkin agar seluruh kebutuhannya dapat terpenuhi dan seimbang.
“Menyisihkan uang dari uang bulanan orang tua sih, kalau pengeluaran bulan ini sedang rendah bisa aku alokasikan untuk bulan depan,” jelasnya, Jumat (24/11/2021).
Baca Juga: Menghayati Kembali Peran dan Fungsi BEM yang Sesungguhnya
Reporter : Aprilia Aryani Dewi Kurniawati dan Ashari Thahira
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja