Sejak Huni Angkat Kaki
Teruntuk dinding kamar yang lalu sunyi
Setelah sembah yang meminta sekujurku terutuhi, lagi.
Kemana lukisanmu?
Tidak satu saja ‘tuk temaniku.
Ke manakah sisa popcorn dan adegan romansa yang kita putar melulu?
Tidak secuil saja remahannya di piamaku.
Teruntuk ranjang yang lalu tak berderit
Sebab, aku tak tidur lagi
Lama sekali.
Hanya dalam gagasku,
Lilin kecil seterang dulu,
Di sisi rapal paling merunduk dan yang paling sibuk,
Tuhan? Kau dengar aku?
Aku yang mana?
Yang di sebelah lilin, menggambar bayang, meraba sayang, mendambanya
Sangkal relung melubuk,
Lubuk memantai,
Melandai sebagai puncak permintaan
Kepada deru derita, mendada-mengepala
Dangkal palung kata, menyuarakannya.
Sejak Huni,
Angkat kaki.
Tinggi sekali angkat kaki,
Bahkan jejaknya yang semestinya di atas debu,
Setelah saja tak dapat lagi kutemu
Ke mana jejaknya yang seharusnya berbekas untuk lantai kayu yang belum sempat kutiup atau kusapu?
Aku masih menangis di dekat pintu,
Mungkin di perjalanan dia ingat aku,
Mungkin berlari ke jalan pulang dan menangis menggerutu,
Mungkin merindu sepengap aku mengurung diriku, siapa tahu.
Jika Huni,
Datang lagi.
Akan kusambut dengan dekap tanpa kalimat,
Biar napasku mengukurnya,
Aku lukis kembali dinding kosong dengan warna yang lebih dia suka,
Atau kuganti ranjang tua dengan yang lebih leluasa.
Tepat
Seseorang mengajariku membaca
Seseorang mengajariku melihat
Seseorang mengajariku memiliki
Seseorang mengajariku peduli
Seseorang mengajariku kehilangan sesuatu untuk mendapatkan hal lain
Seseorang itu mengajariku bersuara
Seseorang itu mengajariku gema dan tangga nada
Seseorang itu mengajariku mengenal
Seseorang itu mengajariku mengenang
Seseorang itu mengajari aku yang terlalu dingin dan tidak mudah percaya menjadi lebih hangat sampai menaruh kepercayaan.
Seseorang yang sama mengajariku menerima
Seseorang yang sama mengajariku menolak
Seseorang yang sama mengajariku pendirian
Seseorang yang sama mengajariku bagaimana bergantung
Seseorang yang sama membuatku jatuh cinta bukan hanya kepada dirinya tetapi kepada seisi dunia.
Seseorang telah memberiku hal sebanyak itu
Tetapi dia hanya mengambil satu;
Dia mengambil hatiku.
Bola mataku gelap menuju hitam
Dan rabun tinggi
Tetapi aku menuju mata angin dengan benderang mata batin
Yang pendarnya memandang ke seluruh isi bumi.
Kejutan langkahku bergerak kepada temuan waktu sebagai wujudmu yang kuperkirakan segera menjadi mata baru
Yang akan melengkapi palet warna
Dalam siluetku
Akankah menjadi sebimbing cahaya yang menghina kegelapan?
Aku mengetukmu lebih dari seribu kali
Dan kamu menjawab ketukanku dengan seribu lebih konotasi
Karena aku seorang pujangga
Telah kuterjemahkan melalui ragam mimpi
Lalu kubangkitkan melalui aneka bangun.
Tafsir-tafsirku yang akan menjadi catatan dalam perjalanan
Tentang imbalan-imbalan
Tangan yang bertepuk
Janji yang berpeluk
Juga terima kasih serta tentang kasih yang selalu saling menerima.
Penyair : Tivana Firsta Haryono Putri
Mahasiswa aktif Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Bahasa, IAIN Surakarta
Editor : M. Sukma Aji