Dream Works kembali merilis film bergenre fantasi yang sudah pernah laris pada masanya itu, dengan mereproduksinya dengan versi penampilan yang lebih “realistis” pada 13 Juni 2025. Jika pada versi sebelumnya How to Train Your Dragon dikemas dalam animasi, yang orang di baliknya hanya menggunakan animator, editor dan pengisi suara saja, kini, film ini dikemas dengan aktor sungguhan dan latar nyata yang menggantikan animasi.
Pemeran utama film ini adalah Hiccup (Mason Thames) adalah putra satu-satunya Stoik (Gerard Butler), sang kepala suku Viking di Berk, nama sebuah pulau dengan hutan-hutan dan tebing yang mengitarinya. Ibunya yang bernama Valka, hilang digondol — seekor naga membawa terbang entah ke mana saat Hiccup masih bayi.
Konflik utama dibuka dengan Stoik yang tengah kebingungan menentukan penerus untuk menggantikannya memimpin suku Berk. Sayangnya, ia tak melihat bibit, jiwa, atau pun cikal bakal penerus itu ada pada sosok Hiccup. Bagi Stoik, anaknya itu bukanlah laki-laki yang bermental seperti dirinya, melainkan lebih halus, lemah lembut, dan tidak memiliki ketegasan dalam sikapnya.
Namun, Hiccup sendiri juga tidak menyanggah hal itu, bahkan mungkin cenderung turut membenarkannya karena ia juga merasa demikian. Salah seorang temannya yang cantik, Astrid (Nico Parker) sering kali membuatnya terpana dan tampak lebih pantas menjadi putri Stoik.
Hati Hiccup dibuat terkagum-kagum oleh aksi-aksi Astrid yang memukau, seperti saat memadamkan rumah yang terbakar oleh semburan api naga yang datang, juga gesitnya gerak-gerik Astrid. Hiccup tampak dilanda krisis identitas, merasa minder dengannya. Lebih jauh, Hiccup mulai menyukai Astrid.
Bagi Hiccup, orang seperti Astrid jauh lebih pantas menggantikan ayahnya. Baik secara mental, kepribadian, hingga tingkah laku, ia — setidaknya yang paling mendekati Stoik untuk menjadi pengganti kepala suku. Di sisi lain, Astrid, toh memang berambisi mendapatkan tahta itu. Lain halnya dengan Hiccup yang pasif, dan pasrah-pasrah saja jika posisi ayahnya itu diisi oleh Astrid.
Namun, jauh di luar perhitungan, saat pelatihan naga, kemampuan Hiccup justru kian melejit. Hiccup menjadi sangat lihai dalam menaklukkan naga-naga, bahkan tanpa harus dengan kekerasan.
Kemampuan Hiccup yang tak terduga itu tidak datang secara ujug-ujug. Ketika desanya terus-menerus diserang naga, Hiccup justru menjalin persahabatan rahasia dengan Toothless, naga jenis Night Fury yang paling ditakuti. Lewat Toothless, ia mengerti cara membuat seekor naga takut, mengalihkan perhatian, hingga membuat mereka ambruk.
Namun, meski efektif dan mangkus, cara yang ditempuh Hiccup bukanlah cara yang ayahnya inginkan. Hubungan Stoik dan anaknya pun tidak terbilang sehat, hanya tampak seolah sehat saja. Komunikasi yang terjadi sering kali hanya searah. Stoik enggan mendengarkan Hiccup, dan enggan membuka pikirannya lebih luas untuk memahami perspektif yang Hiccup pakai.
How to Train Your Dragon ada tentang bagaimana perjuangan seorang pemuda yang krisis identitas dan kerap direndahkan status sosialnya, kerap disebut hanya “numpang” titel ayahnya sebagai kepala suku, ternyata berhasil membalikkan kondisinya. Misi Hiccup sederhana: meyakinkan ayahnya agar bersedia meluruskan pemahaman yang sudah lama terpatri itu.
Sebab, orang-orang suku Berk telah mematri sebuah paham bahwa naga adalah hama yang seharusnya ditumpas dan dihabisi sehingga setiap menjelang pergantian kepala suku, bibit kepala suku itu harus berkompeten dalam menaklukkan bahkan membunuh naga. Tidak bisa tidak.
Sedangkan bagi Hiccup, kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk membereskan masalah turun temurun dengan naga di pulau itu. Untuk menaklukkan seekor naga, hanya perlu trik-trik tertentu agar naga dapat dijinakkan, dilatih, dikendarai, bahkan dipelihara.
Sebab, mempelajari jenis-jenisnya melalui sebuah buku pedoman saja tak cukup untuk menaklukkan naga. Berkat Toothless, Hiccup dapat membuktikan bahwa pemahamannya yang benar.
Hebatnya, meski tidak menyuguhkan alur lain atau cerita tambahan, film ini nyatanya tetap laris-laris saja saat kembali di rilis lima belas tahun kemudian. Wujud Toothless dan naga-naga lain sebagai seekor makhluk yang bernapas juga bisa dilebur dan dikombinasikan ke dalam versi live-action sehingga terasa seperti nyata dengan detail-detailnya yang memukau.
Lima belas tahun lalu, How to Train Your Dragon adalah dongeng fantasi yang memukau anak-anak. Kini, dalam balutan live-action, ia bertransformasi menjadi cermin bagi penonton dewasanya: sebuah studi kasus tentang pola asuh yang toksik, kebebalan generasi tua, dan keberanian seorang anak untuk mendobrak dogma. Pertanyaannya bukan lagi “bisakah naga dilatih?”, tetapi “bisakah orang tua mau belajar dari anaknya?”.
Meski hanya remake, bagaimanapun, film ini tetap layak jika penontonnya adalah orang dewasa yang sudah pernah menonton pada lima belas tahun silam. Kalaupun selama itu sudah menggeser selera genre sehingga dianggap sebagai tontonan bocah yang sudah lawas, setidaknya, film ini sangat menyenangkan untuk sekadar bernostalgia menonton film masa kecil. Boleh jadi, ada perspektif baru yang didapat saat menonton di hari ini.
Penulis: Han