UMS, pabelan-online.com – Aksi protes yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa Lampung aksi di Tugu Adipura, Senin, November 2024 lalu menunjukkan bahwa adanya praktik penegakan hukum tebang pilih. Akibatnya, banyak pihak yang dirugikan dan ada pihak tertentu yang diuntungkan dari praktik tersebut.
Melansir dari Lampost.co, pada Senin, 4 November 2024 lalu, aliansi mahasiswa Lampung menggelar aksi, menuntut penegakan hukum tanpa tebang pilih. Aksi itu digelar sebagai bentuk protes atas lemahnya penegakan hukum wilayah Kota Bandar Lampung.
Koordinator Aliansi Mahasiswa Lampung, Topik Sanjaya mengatakan bahwa aksi ini menyerukan agar aparat hukum dapat menindak tegas, tanpa diskriminasi terhadap pelaku kekerasan dan pelanggaran hukum yang kian meresahkan.
“Kami bukan hanya untuk menyuarakan kekecewaan. Tetapi untuk meminta kepastian bahwa hukum akan ditegakkan dengan adil. Keadilan tidak boleh hanya menjadi retorika dalam pidato pejabat,” ujarnya.
Menanggapi aksi dan tuntutan penegakan hukum tanpa tebang pilih, reporter pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Indra Bangsawan, selaku dosen Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Kamis, 14 November 2024 lalu.
Bagaimana akademisi hukum memandang masalah tersebut?
“Kita harus kembali ke konsep atau makna penegakan hukum. Jika polisi dan aparat penegak hukum memahami makna penegakan hukum, mereka seharusnya tidak sampai melakukan apa yang disangkakan oleh teman-teman aliansi tadi. Makna utama penegakan hukum adalah upaya untuk mewujudkan nilai-nilai abstrak dalam teori menjadi konkret dalam tindakan.
Penegakan hukum tidak hanya berkaitan dengan prosedur formalistik atau administratif, tetapi juga mencakup keadilan bagi para korban. Hal ini membutuhkan efektivitas dalam pelaksanaannya.”
Bagaimana dengan adanya praktik tebang pilih dalam penegakan hukum?
“Saya pribadi mengacu pada pandangan Prof. Satjipto Rahardjo, yang mengatakan bahwa penegakan hukum adalah upaya mewujudkan keidealan hukum yang abstrak menjadi konkret dalam tindakan nyata. Jika aparat memahami moral, nilai-nilai keadilan, dan kemanfaatan, tindakan mereka pasti akan mencerminkan hal tersebut.
Namun, ketika terjadi praktik tebang pilih, itu menunjukkan ketidakmampuan aparat dalam memahami makna sebenarnya dari penegakan hukum.”
Melalui kacamata akademik, bagaimana penegakan hukum di Indonesia saat ini?
“Dalam pandangan akademik, penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Tantangan ini menjadi tanggung jawab kita sebagai akademisi untuk memastikan ilmu yang diajarkan di bangku perkuliahan dapat menginspirasi mereka yang nantinya akan menduduki posisi penting.”
Jadi penegak hukum itu melibatkan siapa saja?
“Penegak hukum bukan hanya polisi, tetapi juga jaksa, hakim, dan advokat. Sebagai akademisi, kami telah memberikan pendidikan hukum yang ideal, tetapi banyak faktor yang memengaruhi implementasinya, seperti budaya impunitas yang menganggap hukum lemah terhadap kelompok tertentu.
Kita perlu mengubah budaya ini, meski prosesnya panjang. Selain edukasi, kita juga harus mendorong lahirnya penegak hukum yang ideal di masa depan. Semua pihak, termasuk mahasiswa dan tenaga pengajar, memiliki peran penting agar kerusakan dalam sistem penegakan hukum dapat diminimalkan.”
Apakah kuasa hukum atau pengacara bisa membantu korban?
“Selain kepolisian, terdapat juga jaksa, hakim, dan advokat sebagai bagian dari aparatur penegak hukum. Ada pula lembaga khusus seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang bertugas di bidang pidana korupsi. Dalam hal ini, advokat memiliki peran penting dalam memberikan pembelaan hukum bagi korban.”
Kepada siapakah hukum berpihak?
“Hukum seharusnya berpihak pada kebenaran, yang dapat dinilai melalui proses persidangan. Namun, persepsi masyarakat seringkali menganggap bahwa hukum cenderung berpihak pada yang berkuasa.
Harapan ke depan adalah penegakan hukum yang merata di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Keberhasilan seperti ini harus menjadi contoh bagi sistem hukum di daerah lain.”
Siapa yang diuntungkan dengan adanya tebang pilih dalam penegakan hukum?
“Yang jelas diuntungkan adalah para oligarki. Oligarki ini terdiri dari dua model, yaitu oligarki politik dan ekonomi. Ketika keduanya bersatu, terbentuklah oligarki kekuasaan yang mampu mengontrol negara dan pemerintahan. Mereka hanya fokus pada kepentingan pribadi tanpa memikirkan kepentingan rakyat.”
Bisakah pengadilan juri diterapkan di Indonesia?
“Melihat sistem yang kita anut saat ini, perlu dipertimbangkan kembali. Sistem juri berasal dari mazhab Anglo-Saxon, sedangkan Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental. Meski demikian, pendekatan serupa dapat diterapkan melalui mekanisme peradilan adat yang memberikan kewenangan kepada pemangku adat untuk menyelesaikan masalah tanpa campur tangan negara.
Indonesia juga membuka ruang untuk mekanisme lokal seperti ini, sesuai dengan UUD 1945, yang menghargai kearifan lokal. Namun, untuk mengadopsi sistem juri secara penuh, kita perlu mempertimbangkan perbedaan mazhab hukum yang ada.”
Apakah korban dari suatu kejahatan hanya bisa diam? Apa saran Anda terkait hal ini?
“Salah satu alasan terjadinya tebang pilih adalah lemahnya efektivitas sistem hukum, yang dipengaruhi oleh lima faktor; undang-undang, aparat, fasilitas, budaya masyarakat, dan politik. Misalnya, jumlah hakim, jaksa, dan polisi di Indonesia masih kurang. Selain itu, mentalitas aparat juga perlu diperkuat.
Korban perlu didukung oleh masyarakat sipil dan media untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Peran media sangat penting dalam mengangkat isu korban agar mendapat perhatian publik. Jika masyarakat bersatu mengawasi kasus tertentu, aparat penegak hukum akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, korban juga dapat mencari perlindungan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau organisasi hukum lainnya. Upaya bersama ini penting untuk memastikan masa depan penegakan hukum yang lebih baik.”
Reporter: Argo Sulistyo
Editor: Muhammad Farhan