Pergerakan mahasiswa di Indonesia telah lama menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan sosial dan politik bangsa. Mahasiswa tidak hanya menjadi penggerak utama perubahan, tetapi juga berperan sebagai intelektual organik—sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci.
Dalam pandangan Gramsci, intelektual organik adalah kaum intelektual yang terlibat aktif dalam perjuangan kelas dan membela kepentingan masyarakat tertindas, tidak hanya berperan sebagai pengamat yang terpisah dari realitas sosial.
Tan Malaka, tokoh revolusioner Indonesia, juga menekankan pentingnya peran pemuda dalam memperjuangkan keadilan. Bagi Tan Malaka, pemuda tidak seharusnya berada di menara gading yang terpisah dari realitas, tetapi harus terjun langsung untuk berkontribusi dalam pergerakan rakyat.
Salah satu contoh nyata adalah pergerakan mahasiswa pada tahun 1998, di mana mahasiswa dari berbagai kampus di seluruh Indonesia bersatu untuk mengorganisasi aksi besar-besaran, yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan menuntut reformasi yang lebih baik.
Kini, selaras dengan semangat perjuangan tersebut, mahasiswa terus bergerak menjadi alarm bagi pemerintah. Sejak tahun 2019, mahasiswa aktif menyuarakan ketidakadilan dalam aksi yang mengangkat isu-isu krusial seperti “Omnibus Law” dan tuntutan “Reformasi Dikorupsi”.
Aksi serentak terbaru terjadi pada 22 Agustus 2024 lalu, di mana mahasiswa bergerak menentang upaya DPR untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia pencalonan kepala daerah.
Sebagai upaya memahami proses pergerakan ini, reporter pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga, Aulia Thaariq Akbar pada 21 Oktober 2024. Ia membagikan pandangannya tentang bagaimana aksi-aksi mahasiswa dibentuk melalui proses konsolidasi dan kajian mendalam, serta pentingnya mencerdaskan massa agar aksi tidak hanya menjadi luapan emosi, tetapi benar-benar berakar pada pemahaman yang menyeluruh.
Bagaimana Proses Pengkajian Isu Sebelum Melakukan Aksi?
“Pengkajian isu dimulai dengan mempelajari isu-isu yang ada di masyarakat dan yang akan diangkat atau diperjuangkan oleh mahasiswa. Proses ini biasanya dimulai dengan diskusi internal dalam organisasi, misalnya di lingkungan BEM, untuk mencari tahu dan mendalami permasalahan yang ada.
Setelah itu, BEM membuat kajian atau analisis sebagai landasan akademis untuk memahami isu dengan lebih mendalam. Baru kemudian diadakan konsolidasi untuk menentukan bentuk aksi yang akan diambil, apakah berupa aksi turun ke jalan atau aksi simbolik lainnya. Jadi, secara umum prosesnya adalah mempelajari isu, membuat kajian, kemudian berkonsolidasi untuk mematangkan sikap.”
Siapa Saja yang Terlibat dalam Proses Framing Isu?
“Dalam proses framing isu, yang terlibat terutama adalah teman-teman di internal BEM, khususnya dari divisi kajian dan strategis (kastrat – red) atau mereka yang memahami isu-isu sosial dan politik. Jika isu yang diangkat bersifat sosial-politik, partisipasi tidak terbatas hanya pada anggota BEM. Mahasiswa di luar BEM atau yang bersimpati terhadap isu tersebut juga kerap terlibat dalam pengolahan isu.”
Apa Kriteria untuk Menentukan Suatu Isu Layak diangkat Menjadi Gerakan?
“Kiteria untuk mengangkat suatu isu menjadi gerakan adalah ketika isu tersebut menjadi keresahan bersama dan mewakili kegelisahan masyarakat. Jika suatu isu dirasakan sebagai masalah bersama yang relevan bagi banyak orang, maka isu tersebut layak diangkat menjadi gerakan.”
Bagaimana Strategi untuk Membangun Narasi yang Kuat dan Meyakinkan?
“Strategi utama dalam membangun narasi adalah melalui proses diskusi internal untuk memahami dan menyepakati narasi yang akan diperjuangkan. Setelah itu, kajian yang telah dibuat dirilis di media sosial agar dapat menjangkau masyarakat luas.
Dengan begitu, masyarakat dapat memahami bahwa isu tersebut penting untuk diperjuangkan bersama. Proses ini membantu meyakinkan partisipan dan masyarakat untuk berkomitmen pada perjuangan.”
Bagaimana Proses Konsolidasi Berlangsung agar Isu Tidak Menjadi Bola Liar?
“Proses manajemen isu dilakukan dengan adanya pihak yang bertanggung jawab untuk mengawal diskusi, seperti tuan rumah konsolidasi (misalnya jika konsolidasi diadakan di Universitas Airlangga – red) atau koordinator lapangan (Korlap – red) aksi yang telah ditunjuk. Mereka bertugas untuk memastikan bahwa isu yang dikonsolidasi tetap fokus dan tidak menjadi bola liar.”
Bagaimana Cara BEM Memastikan Konsistensi Pemahaman Isu pada Partisipan Agar Tidak Menjadi Massa Cair?
“Konsolidasi tidak hanya dilakukan sekali. Biasanya ada konsolidasi awal di tiap kampus sebelum konsolidasi besar, dan setelah itu dilakukan lagi konsolidasi di masing-masing kampus atau organisasi. Tujuan dari rangkaian ini adalah untuk memastikan bahwa massa dari tiap organisasi atau kampus benar-benar memahami isu yang diperjuangkan.”
Bagaimana Cara Merespons dan Mengelola Stigma Negatif terhadap Aksi Mahasiswa?
“Aksi adalah bentuk sikap dan bagian dari gerakan sosial. Terlepas dari apakah aksi tersebut didengar atau tidak, hal ini tetap penting sebagai pemicu diskusi dan kesadaran di masyarakat. Meskipun tidak selalu efektif, aksi adalah sikap penting yang menunjukkan kepedulian para pemuda terhadap ketidakadilan.”
Bagaimana Mengukur Keberhasilan Sebuah Gerakan?
“Keberhasilan gerakan tidak hanya diukur dari diterimanya tuntutan, tetapi juga dari partisipasi massa aksi. Jika mereka antusias, memahami isu, dan konsisten memperjuangkan masalah pasca-aksi, maka gerakan tersebut dapat dikatakan berhasil. Harapannya, semoga gerakan mahasiswa tetap konsisten, menjunjung semangat idealisme, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.”
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Alfin Nur Ridwan