Kotak Pandora Inpres Nomor 1 2025

LPM Pabelan

Ilustrasi: Aqill Adhitya

Buntut dari pemangkasan anggaran perguruan tinggi yang merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) itu menuai banyak persoalan baru baik di kalangan mahasiswa maupun dosen. Pemangkasan anggaran itu menyebabkan beberapa fasilitas universitas dibatasi. Pembatasan yang mencakup penggunaan listrik, lift, sampai AC, itu sangat mengganggu kenyamanan belajar mahasiswa dan juga menghambat kinerja para dosennya. 

Alih-alih ditingkatkan, dana pendidikan itu malah dipangkas habis. Pemerintah tampak mulai mengabaikan riset-riset dosen yang memerlukan dana penelitian serta untuk publikasi internasional. Perguruan tinggi pun menjadi kesulitan dalam menyediakan fasilitas dan layanan pendidikan yang optimal. 

Mahasiswa yang seharusnya dapat menikmati fasilitas yang layak, kini dipaksa harus puas dengan fasilitas yang kurang memadai. Pemakaian fasilitas dan pembaruan peralatan laboratorium juga terancam tidak terealisasi. Dengan kata lain, lataran tidak terealisasinya pembaruan peralatan laboratorium, mahasiswa terpaksa harus memenuhi beban kebutuhan itu dengan uang saku bulanannya sendiri.

Selain itu, dampak pemangkasan anggaran yang membuat biaya kuliah naik hanya akan semakin menambah beban pengeluaran orang tua mereka. Artinya, orang tua mereka pun akan semakin kelimpungan demi menguliahkan anaknya. Belum lagi menimbang segala keterbatasan kemampuan fisik maupun finansial mereka. Keadaan ini jelas memperburuk aksesibilitas pendidikan di Indonesia yang terpukul mundur hanya karena perencanaan pemangkasan anggaran yang tidak matang.

Pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan pemangkasan anggaran untuk sektor pendidikan dari metode pembelajaran hingga biaya operasional agar tidak sampai terkena imbas. Walaupun secara tegas, Sri Mulyani sudah melarang perguruan tinggi menaikkan uang kuliah tunggal (UKT), sayangnya itu tetap tidak akan memberikan solusi yang konkret dan solutif untuk menyelesaikan masalah biaya operasional perguruan tinggi yang terlanjur terjun bebas.  

Kemendikti Saintek Satryo Soemantri Brodjonegoro pun sudah mengingatkan bahwa alokasi dana pada perguruan tinggi dapat terancam akibat adanya pemangkasan ini. Tindakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah yang juga mengimbas sektor pendidikan ini menunjukkan, bahwa bagi pemerintah, kebutuhan kampus dan hak-hak mahasiswa juga dosennya bukanlah prioritas negara lagi. Biaya kampus yang kian merosot itu jelas menuntut penyesuaian-penyesuaian pada beberapa sektor strategis yang akan mengancam penurunan kualitas pendidikan itu sendiri. 

Bagi negara berkembang, pendidikan seharusnya adalah sektor primer dan vital yang tidak bisa ditawar menawar lagi. Sayangnya, untuk pemerintah yang berambisi akan mencapai Indonesia emas yang utopis pada tahun 2045, langkah-langkah dan upaya yang ditempuh justru kian menjauh dari mimpi itu sendiri.

Also Read