Menyelisik Blunder Pemekaran dan Dampak Keberlanjutannya Bagi Bumi Cendrawasih

LPM Pabelan

Bulan lalu, tepatnya 29 Juni 2022 kemarin, telah terjadi aksi yang melibatkan ratusan mahasiswa Papua dan Papua Barat untuk menolak pemekaran Papua di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Penolakan tersebut terjadi karena pemekaran wilayah Papua yang dinilai hanya menguntungkan para pejabat elit Papua dan pemerintah pusat seperti yang dilansir dari cnnindonesia.com. Pemekaran tersebut menjadikan administrasi Papua menjadi lima provinsi, dengan membentuk tiga provinsi baru, yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.

Adanya aksi ratusan mahasiswa turun ke jalan tersebut membuat saya memikirkan akan hal yang terjadi di sana. Mengapa wilayah Papua yang awalnya dua provinsi dimekarkan menjadi lima provinsi? Hal tersebut yang mendasari timbulnya rasa penasaran saya terkait pemekaran ini. Pasalnya saya hanya bisa mengamati keadaan Papua dari kejauhan dengan sebatas memanfaatkan “jendela” media. Saya mencoba menarik benang merah tentang hal-hal yang terjadi di Papua selama lima tahun ke belakang, hal tersebut meliputi kejadian Papua, potensi alam, hingga sosial ekonomi.

Berdasarkan pada hasil penelusuran mesin pencarian Google, pada halaman pertama dengan kata kunci “Kejadian di Papua 2017 sampai 2022” ditemukan deretan kejadian terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan bentrok yang terjadi di sana. Dilansir dari databoks.katadata.co.id, hasil penelitian Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) mencatat ada 348 kasus kekerasan di Papua dan Papua Barat. Pencatatan ini dimulai pada tahun 2010 hingga Maret 2022.

Kemudian ada salah satu artikel yang membuat saya terenyuh, yaitu Tragedi Wamena pada Oktober 2000. Tragedi yang terjadi pada 6 Oktober 2000 tersebut menewaskan tujuh orang warga setempat dan 24 orang pendatang, di mana hal tersebut dilatarbelakangi adanya konflik horizontal antara pendatang dengan pribumi.

Hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan bahwa penambahan pelayanan publik juga perlu dilakukan. Dilansir dari republika.co.id, hasil penelitian Pusat Penelitian Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (P2W BRIN) Cahyo Pamungkas mengatakan, warga Papua terutama yang tinggal di daerah pegunungan mengaku merasa paling aman di tempat yang tidak terdapat aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Hal itu terungkap dalam observasinya bersama tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2018 ke beberapa wilayah seperti Lembah Baliem, Jayawijaya, dan Papua.

Dari hal tersebut, kita sebagai mahasiswa dan anak muda Indonesia hendaknya belajar bahwa harus dilakukannya konsultasi kepada banyak orang secara inklusif untuk mendengarkan aspirasi-aspirasi politik yang menolak pemekaran di wilayah adat. Karena banyak korban, khususnya warga sipil, yang trauma kepada aparat akibat bentrok yang tak kunjung surut. Oleh sebab itu, pentingnya memperbaiki kepercayaan masyarakat kepada aparat bahwa tidak ada lagi kekerasan hingga korban jiwa yang jatuh nantinya.

Dilansir dari suara.com, Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia menjelaskan terkait hasil pembahasan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) yang membahas tentang pemekaran wilayah Papua. Pemekaran tersebut ditujukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, mempercepat peningkatan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan, dan mengangkat harkat martabat masyarakat. Namun, menurut penuturan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, pemekaran tiga provinsi tersebut tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat.

Dari yang saya amati, banyak kontradiksi dari pengesahan RUU tersebut. Apabila pemerintah ingin mempercepat kesejahteraan dan mengangkat harkat martabat masyarakat asli Papua, seharusnya pemerintah tidak menutup telinga, pun semestinya mendengarkan aspirasi masyarakat setempat terlebih dahulu.

Dengan mendengarkan aspirasi penduduk setempat, keinginan untuk mempercepat peningkatan pelayanan publik dan kemandirian finansial pasti akan didukung oleh masyarakat di sana. Namun, jika aspirasi masyarakat tidak didengar justru menimbulkan laboratorium konflik, atau bahkan dapat memarginalkan orang asli Papua sendiri.

Jangan sampai pembangunan secara masif malah mengesampingkan lingkungan yang semestinya perlu diperhatikan juga. Deforestasi ugal-ugalan yang hanya menyisakan luka kepada satwa yang tinggal di dalamnya serta rakyat terus menerus dibebani tanam pohon setiap tahunnya. Tentu adanya pemekaran tersebut akan terwujudnya peningkatan profesionalisme birokrat untuk menyelenggarakan pemerintah yang efektif dan efesien, serta mempercepat pelayanan publik, agar akses pada unit-unit pelayanan publik tersebar dan dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota.

Bila pelayanan baik dan mudah pastinya masyarakat merasakan efek kemudahan yang diberikan oleh pemerintah. Tentunya, akan terbuka lapangan kerja baru, pelayanan kesehatan, dan pelayanan keamanan yang baik. Semoga harapan dan undang-undang yang sudah disahkan berjalan baik, bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, dan tidak ada lagi hanya mengobral janji, juga jangan sampai justru menjadikan pintu gerbang eksploitasi yang lebih besar di Papua.

Penulis: Tri Cahyo Utomo

Mahasiswa Aktif Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Editor: Gardena Dika Muharomi

 

Also Read