Pelaku Diluluskan, Korban Kekerasan Seksual di UB Berjuang Melawan Ketidakadilan Birokrasi

LPM Pabelan

UMS, Pabelan-online.com – Cuitan di X (Twitter) yang mengungkap kasus kekerasan seksual oleh mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB) pada 13 Mei 2024 menjadi viral. Hal ini disebabkan oleh lambatnya birokrasi dalam penanganan kekerasan seksual di kampus dan fakta bahwa UB mengizinkan pelaku meraih gelar sarjana setelah diskors.

Kekerasan di lingkup Universitas masih marak terjadi. Salah satunya yang terjadi di UB. Kasus ini viral lantaran banyak terjadi ketidakadilan pada proses penanganan kasus.

Dihubungi reporter Pabelan-online.com, pendamping korban yang berinisial V mengungkapkan, harapan utama korban adalah kasusnya segera selesai dan menemukan keadilan secepat mungkin. Alasan di balik tuntutan ini adalah keinginan korban untuk memastikan fungsi hukum sebagai efek jera, mencegah kasus serupa terulang, dan memberantas kekerasan seksual yang marak di perguruan tinggi.

“Korban berharap pelaku dijatuhi hukuman setimpal yakni Drop Out dari kampusnya serta tidak mengambil jalan damai melalui mediasi untuk kasus ini,” ungkapnya, Jumat (24/05/2024).

Dalam proses penanganan kasus, korban merasa proses yang dilakukan oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UB dan Unit Layanan Terpadu Korban Seksual dan Pelecehan (ULTKSP) FISIP UB tidak dilakukan dengan adil dan transparan. Namun, Satgas PPKS dari kampus korban memberikan jasa yang totalitas dalam penanganan kasus dan pemulihan korban.

“Banyak proses asesmen yang dilakukan tidak sesuai porsi antara pelaku dan korban, serta banyak progres yang ditutupi dari korban dengan alasan melindungi mental korban,” ungkap pendamping.

Salah satu keputusan yang memicu kontroversi ialah keputusan kampus yang membolehkan pelaku untuk lulus dan mendapatkan gelar sarjana setelah mendapat skorsing menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI). Pendamping korban menilai bahwa kampus UB menyepelekan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban.

“Tidak adil untuk korban setelah 7 bulan lamanya menunggu keadilan, tetapi kampus tanpa pengawasan secara tegas meluluskan pelaku menurut sumber dari PDDIKTI. Mengejutkannya, setelah kasus ini viral, Satgas PPKS UB menghubungi Satgas PPKS kampus korban bahwa Surat Keputusan (SK) Dekan akan segera diurus. Namun, hingga saat ini, korban belum mendapatkan keterangan apa pun, dan tidak ada kemajuan progres terkait turunnya SK Dekan tersebut,” ujarnya.

V menyatakan untuk menuntut keadilan, korban telah melaporkan kasusnya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Banten sebagai kuasa hukum. Hal ini dilakukan setelah pelaku mengutus kuasa hukumnya dan melakukan somasi kepada korban atas tuduhan pencemaran nama baik.

“Tiba-tiba pelaku mengutus kuasa hukumnya dan mengirimkan surat somasi pertama melalui WhatsApp dan menyusul somasi hardcopy beberapa hari kemudian ke rumah korban,” tutur V.

Ia juga menjelaskan bahwa kuasa hukum pelaku sempat meminta mediasi. Namun korban, melalui kuasa hukumnya, berpandangan untuk tidak menghadiri mediasi yang diajukan oleh kuasa hukum pelaku karena bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Kondisi psikologis dan emosional korban saat masih harus dipantau. Harapan saya sebagai pendamping korban terhadap keberlanjutan kasus ini semoga korban dapat menjemput keadilan sampai tuntas dan menegakkan hukum demi terciptanya keadilan dan keharmonisan serta bersikap tegas, efektif, efisien, humanis, dan komunikatif dalam setiap pengambilan langkah dan keputusan dalam proses penanganan kasus ini,” tutupnya.

Dalam wawancara bersama reporter Pabelan-online.com, Rizal Hakiki, sebagai advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Banten, memberikan pandangannya terkait proses penanganan kasus oleh pihak kampus. Menurutnya, Satgas PPKS UB tidak menjalankan kewajibannya sesuai prosedur yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021.

“Informasi terakhir dari ketua Satgas PPKS kampus korban menyebutkan bahwa jika rekomendasi yang diajukan oleh satgas tidak ditindaklanjuti oleh universitas, maka mereka akan membuat pengaduan ke Kemendikbud agar universitas diberi sanksi,” tambah Rizal, Rabu (29/05/2024).

Rizal memvalidasi surat peringatan yang sempat dilakukan oleh pelaku melalui kuasa hukumnya atas tuduhan pencemaran nama baik setelah ada teman korban yang membuat cuitan di media sosial mengenai peristiwa dugaan kekerasan seksual. Surat peringatan tersebut telah dijawab oleh LBH dengan menyatakan bahwa korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan.

“Kami sudah menjawab surat peringatan tersebut dengan menyatakan bahwa korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan,” ujarnya.

Ia menjelaskan keinginannya bersama LBH dan Satgas agar kasus ini dilaporkan secara pidana. Namun, kondisi korban yang belum pulih secara mental menjadi kendala untuk menghadapi proses pidana yang rumit dan panjang.

“Yang pasti, persiapannya adalah kita bersama-sama dengan satgas untuk memberikan penguatan kepada korban. Konsekuensi ketika kita membuat laporan kepolisian, nanti korban mau tidak mau akan dimintai keterangan. Juga, ada risiko teror atau tekanan dari pelaku yang kemungkinan akan dihadapi,” jawabnya.

Selain itu, ia menambahkan bahwa situasi hukum masih belum responsif dan rehabilitatif bagi korban karena seringkali orientasinya adalah penghukuman. Ia menyebutkan bahwa istilah pidananya adalah retributif, di mana orientasinya hanya memberikan efek jera kepada pelaku, tetapi tidak memulihkan kondisi korban seperti keadaan semula.

“Kami berharap segala macam instansi yang terlibat maupun yang akan terlibat dalam kasus ini bisa sepenuhnya berpihak kepada korban secara adil. Keadilan yang adil versi korban karena keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri. Justice delayed is justice denied,” tegasnya.

Dalam akhir wawancara, Rizal juga memberi pesan kepada korban dan penyintas kekerasan seksual lainnya untuk tetap semangat, menjalin solidaritas, dan dukungan dari teman-teman terdekat. Sementara untuk penegakan hukum soal kekerasan seksual memerlukan perbaikan secara struktural.

“Kami berharap persoalan ini bisa diatasi secara struktural. Walaupun angin segarnya sudah ada Undang-Undang TPKS, beberapa perkembangan masalahnya perlu segera dibuat aturan turunan dari undang-undang TPKS itu,” tutupnya.

 

Reporter: Ferisa Salwa Adhisti

Editor: Muhammad Iqbal

Also Read