Sedikit Orang yang Bisa Menulis Itu Bagus 

LPM Pabelan

Meme: Pabelan Online/Han

Menulis sejatinya merupakan bentuk interaksi antara imajinasi dan nalar yang dicurahkan ke dalam sebuah tulisan. Tuhan memberkati otak manusia dengan segenap potensinya yang luar biasa untuk bisa melakukan itu. Di zaman prasejarah, menulis merupakan cara manusia mengungkapkan misteri alam dengan metode mengukir di dinding-dinding gua dan batu. 

Sama halnya dengan berbicara, menulis merupakan variabel dari komunikasi. Bedanya, jika alat berbicara adalah menggunakan lisan, maka menulis menggunakan tekstual sebagai alatnya untuk menyampaikan pesan. Berkat itulah, manusia dari zaman ke zaman dapat memahami apa yang dilakukan manusia di zaman terdahulu. 

Secara tidak langsung, ini merupakan bentuk komunikasi antar waktu yang kian terus dikembangkan di zaman modern. Jika di abad pertengahan dulu penulis disebut-sebut sebagai “cendekiawan”, lantas di zaman ini disebut apa? Intelektual? 

Judul di atas sudah barang tentu merupakan sarkasme. Nyatanya, nyaris semua orang bisa membaca dan menulis. Bahkan, tulisan yang Anda baca saat ini pun ditulis oleh orang yang tak pernah menulis sebelumnya. Yang membedakan sebuah tulisan hanyalah mana tulisan yang berkualitas dan mana yang tidak. 

Pasalnya, di abad kegelapan Eropa, menerbitkan sebuah risalah (tulisan) itu sangatlah sulit. Julukan “cendekiawan” disematkan kepada para penulis karena tulisan yang dipublikasikan di zaman itu adalah tulisan yang divalidasi oleh para cendekiawan lainnya juga. Tak jarang, orang di zaman itu bahkan dilabeli penista jika tulisannya berisi pemikiran baru yang menentang pemikiran yang sudah terpatri di zamannya. 

Berbeda dengan sekarang, teknologi sudah semakin canggih, mudahnya akses informasi membuat manusia di zaman ini memiliki kebebasan berpikir yang kebablasan. Segala informasi bisa dicari dan didapat dengan mudah di internet, termasuk yang bermutu maupun tidak, serta yang layak dikonsumsi maupun tidak. Singkatnya, manusia saat ini betul-betul memiliki akses yang tidak terbatas terhadap banyak hal, khususnya pengetahuan. 

Jika menjadi pembicara harus memiliki seni public speaking, maka menulis juga ada seninya. Kita semua tahu alangkah banyaknya tulisan-tulisan seperti quotes atau kutipan-kutipan yang berserakan di media sosial. Adanya platform seperti Tiktok, Instagram, dan X (dulunya Twitter) dapat menjadi ruang diskusi dan alat publikasi yang masif untuk menyebarluaskan tulisan yang kita buat. 

Namun, ruang diskusi semacam itu tak selamanya berarti baik. Kita tidak tahu pasti keabsahan dan kesahihan tulisan-tulisan mereka. Bisa saja orang-orang hanya menuliskan apa pun yang terlintas di kepala mereka, sekalipun itu karangan yang keliru bahkan menyesatkan. Pasalnya, kondisi literasi kita yang mengkhawatirkan akan membuat para pengguna medsos itu memvalidasi kutipan-kutipan yang antah-berantah sepanjang mereka rasa itu relevan bagi mereka. Tak peduli apakah kutipan-kutipan itu sahih atau malah keblinger.

Tak perlu embel-embel cendekiawan, asal terasa cocok untuk dijadikan quotes, tinggal ketik saja apa yang terlintas di kepala Anda seolah itu indah dan seksi untuk dikutip, unggah, orang-orang akan melihat, berkomentar, lalu mengimani quotes itu. Semua orang mudah-mudah saja melakukan hal itu sepanjang memiliki jumlah pengikut yang besar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa tak peduli itu benar atau salah, baik atau buruk, orang-orang akan dengan mudah memercayai quotes indah yang ditulis oleh akun yang tak jelas asal-usulnya karena penulisnya menggunakan akun anonim. Jika semua orang semacam itu terus mengunggah tulisan mabuknya, maka informasi yang tidak bermutu akan memenuhi jagat maya kita. Atau jangan-jangan malah sudah terpenuhi dengan quotes sampah?

Dalam konteks mahasiswa, tak sedikit dari mereka rupanya turut menjadi penyumbang kutipan-kutipan sampah itu. Kita tak perlu heran karena tulisan semacam itu nyatanya juga memiliki pasarnya di kalangan mahasiswa yang konon adalah intelektual. Mereka mudah saja menuliskan quotes indah yang tampak sastrawi padahal isinya kosong. Giliran ditugasi menulis semacam artikel, makalah ataupun penelitian ilmiah, mereka justru kelimpungan setengah mati.

Bisa kita nilai, bahwa di kalangan mahasiswa yang berlabel orang-orang intelek dan berpendidikan pun masih banyak susah payah dalam menulis. Padahal menulis adalah bagian dari aktivitas keseharian mereka di kampus. 

Sejumlah pembaca agaknya berpikir bahwa penyebabnya adalah mereka itu bodoh dan malas. Tentu itu, tidak ada salahnya. Jujur saja pada diri sendiri bahwa jawaban itu hanyalah sebuah kesimpulan dari banyaknya mahasiswa yang tak pernah membaca. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Wajar mahasiswa tak mampu menulis karena ia tak pernah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca. Itu logika yang sangat sederhana. 

Kurangnya membaca jelas akan membuat seseorang kebingungan hendak menulis apa. Ketika berkuliah pun, kita bahkan hanya menulis untuk menyalin materi saja. Tak usah jauh-jauh sampai mampu mengkritisi tulisan kita sendiri, jika kita saja hanya mampu menjiplak materi dari PPT yang dipresentasikan dosen. Wajar jika dosen menyuruh bertanya, tak ada mahasiswa yang bertanya. Bukan karena sudah paham, melainkan karena tak tahu hendak menanyakan apa.

Itulah yang terjadi jika sejak awal, mahasiswa hanya fokus menulis jiplakan dan mengabaikan penyampaian dosen. Praktik itu akan terus dilanjutkan pada saat mahasiswa menggarap skripsi dengan hanya menyalin jurnal-jurnal terdahulu, lalu memparafrasakannya—yang itu pun masih menggunakan bantuan ChatGPT.

Padahal jurnal-jurnal itu pun bisa dikritik karena pasti ada kelemahannya, lalu diuji, dibandingkan, dengan diteliti kembali. Kebiasaan itu akan membuat kemampuan berpikir kita semakin tumpul meski berkuliah mahal-mahal. Jangankan mengkritisi isu-isu yang berkembang saat ini, memahaminya saja mereka masih kesulitan. 

Walhasil, mereka akan menulis apa yang mereka ketahui secara setengah-setengah dengan argumen seadanya tanpa memastikan keabsahannya dari apa yang ditulis. Lalu, tulisan yang tak jelas bahkan sesat itu disebarkan ke media sosial dan menyesatkan banyak orang yang sama malasnya mengkritisi sebuah informasi. Tulisan-tulisan yang berserakan di media sosial itu sangat berbahaya jika menjadi standar argumentasi orang yang membacanya.

Semestinya kita—terlebih sebagai penerima cap intelek hanya karena menjadi mahasiswa—memiliki filter sendiri atas masuknya informasi yang kita baca. Berharap agar orang yang menulis hanya orang-orang pintar dan bijaksana dalam mempertanggungjawabkan tulisannya hanyalah angan-angan yang utopis. Kita memiliki kontrol penuh untuk memilih menjadi orang-orang yang waras itu atau tidak. 

Ketimbang bermain sabda psikologi-psikologi percintaan, alangkah lebih baik memperbanyak bacaan dari buku ilmiah untuk menambah wawasan dan mencegah dari berkata serampangan. Wawasan yang luas dapat menumbuhkan jiwa kritis, dan mulailah menulis dari perolehan dari buku yang dibaca. Maka penting bagi kita sebagai pembaca agar berketerampilan dalam mencerna dan mengkritisi bacaan lalu menggunakan itu untuk ditulis dan disampaikan sesuai dengan konteks.

Kebiasaan menelan mentah-mentah sebuah pemahaman lalu menyebarkannya secara sembarangan jelas tidak mencerminkan budaya mahasiswa yang terdidik. Mencari sumber referensi lain dari bacaan merupakan salah satu upaya untuk menyesuaikan konteks informasi dan keabsahan pengetahuan. Membaca dengan skeptis dan kritis harus digenjot agar mahasiswa tidak terperosok menjadi penulis sabda yang antiintelek. Jika masih kesulitan bahkan enggan mewujudkan ini semua, judul sarkas di atas agaknya lebih baik menjadi realita mahasiswa saja.

Penulis: Fann

Also Read

Tinggalkan komentar