Perguruan tinggi atau universitas merupakan jenjang pendidikan yang menyatukan berbagai kalangan di dalamnya. Keberagaman suku, ras, agama, bahasa, bahkan negara ada hidup dalam satu ekosistem bernama kampus itu. Meski beragam, semua punya tujuan yang sama, yaitu menimba ilmu. Ada pepatah mengatakan, “tuntutlah ilmu sampai ke negeri China” agaknya pepatah itu lah yang memotivasi mahasiswa asing memilih melanjutkan studinya jauh dari negara asal. Reporter pabelan-online.com berkesempatan menemui dan mendengarkan cerita dari beberapa mahasiswa internasional yang ada di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Berawal ingin mengenal Indonesia lebih jauh, hingga berkuliah di negara yang nyaman.
Ingin Kenal Benua Asia Selain Korea Jadi Alasan Mahasiswa Ini Pilih UMS
Di sore hari, di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus UMS, saya bertemu dengan salah satu mahasiswa internasional dari Zimbabwe bernama Wesley. Kedatangannya ke Indonesia terjadi pada 2022 ia kini berada di semester lima pada jurusan teknik mesin, jurusan yang sama ketika ia menimba ilmu di Zimbabwe. Dia menceritakan banyak pengalaman dan kesehariannya sebagai mahasiswa internasional selama di Indonesia, terkhususnya Solo.
Dia punya kemampuan berbicara bahasa Indonesia cukup baik. Wesley mampu mengucapkan dengan fasih kata bahkan kalimat berbahasa Indonesia. Namun, adakalanya ketika di UMS, baik dalam bersosialisasi maupun ketika belajar di kelas, bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Sebagai orang Zimbabwe, kemampuan dia dalam berbahasa Inggris terbilang fasih. Sebab, katanya, ketika di rumah ia lebih sering memakai bahasa Inggris. Belum lagi Wesley sempat tinggal di London.
“Saya menghabiskan waktu selama tiga hari untuk datang ke Solo dari Zimbabwe, sebelum ke Jakarta saya transit di Qatar. Kemudian, saat di Jakarta saya mengambil penerbangan menuju Solo,” kata Wesley sambil menyeruput minuman yang telah ia pesan sebelumnya, pada Kamis, (4/9/2023). Wesley mengaku kalau dia menyukai aktivitas bepergian. Hingga kini, Wesley telah mengunjungi beberapa negara, salah satunya Inggris.
Wesley bercerita lebih jauh perihal mengapa dia memilih UMS. Awalnya, dia mengetahui beasiswa di UMS atas usulan pemerintah di sana, “Ah saya pikir itu ide yang bagus,” ujar pemuda Zimbabwe yang kini berusia 24 tahun itu. Kebanyakan orang, katanya, hanya mengetahui benua Asia itu Korea dan China saja, tetapi tidak dengan Indonesia, sehingga dia memilih untuk melanjutkan studinya di sini. Dia tidak ragu dan yakin dalam mengambil keputusan tersebut.
Dalam kesehariannya, ia menjalani aktivitas seperti mahasiswa pada umumnya. Saat ada jadwal kuliah dia bangun pada pagi hari. Namun, jika tidak ada jadwal kuliah dia bangun pada siang hari. Wesley mengatakan kalau dirinya sempat terkendala perbedaan waktu, sehingga ia perlu menyesuaikan soal manajemen waktunya. Indonesia dan Zimbabwe memiliki perbedaan lima jam lebih lama. Kini Wesley tinggal di kos kawasan Gumpang. Sebelumnya ia tinggal di home boarding milik UMS, Pesantren Mahasiswa (Pesma) KH Mas Mansyur.
“Setiap mahasiswa internasional tinggal di pesma selama satu hingga dua bulan sembari mencari tempat tinggal sendiri. Namun, jika mereka tidak menemukan yang cocok, kita bisa tetap tinggal di pesma,” ungkapnya. Wesley memilih untuk tinggal di kos, karena dia merasa lebih nyaman.
Mengenai aktivitas perkuliahannya, dosen Program Studi (Prodi) teknik mesin memberikan waktu dua minggu bagi Wesley dan mahasiswa internasional yang lain untuk beradaptasi soal jam kuliah.
“Dosennya sangat baik, berbeda dengan di Zimbabwe. Di sana semua harus mengikuti kelas sesuai dengan jadwalnya,” kata Wesley.
Di Indonesia, Wesley tidak hanya menuntut ilmu dan mencari gelar sarjana Teknik Mesin itu. Ia juga memiliki hobi bermain basket. Bahkan, katanya, ia adalah seorang atlet basket di tingkat kampus. Pada waktu luang dia selalu bermain basket bersama teman-temannya. Selain itu, di waktu luang lainnya dia juga sering berkumpul bersama teman-temannya yang berasal dari Madagaskar. Soal sosialisasi, Wesley tidak punya masalah akan hal itu. Wesley mengaku punya banyak teman dari Indonesia. Ia menuturkan bahwa orang-orang Indonesia sangat baik dan mudah bergaul.
Sebagai mahasiswa internasional yang beragama non muslim dan berkuliah di UMS, banyak pertanyaan yang menghampiri dirinya. Kenapa UMS? Bukannya banyak kampus swasta yang lain? Ia tidak mempermasalahkan hal tersebut, justru dia merasa senang. “Everything is okay, UMS merupakan kampus favorit dan memiliki peringkat yang bagus di kancah internasional,” ujarnya.
Cari Kampus yang Damai, Mahasiswa Internasional Ini Pilih UMS
Di hari lain, saya menemui mahasiswa internasional asal Bangladesh. Toha merupakan mahasiswa kelas internasional dari Fakultas Agama Islam (FAI) prodi Pendidikan Agama Islam (PAI). Berbeda dengan Wesley yang menyukai bepergian keliling dunia, Toha memilih UMS karena ingin berkuliah di negara yang damai.
“Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), saya mencari negara yang damai untuk melanjutkan pendidikan, dan Indonesia muncul sebagai salah satunya,” ujarnya ketika ditemui di Danau Salsabila UMS, pada Sabtu (16/9/2023).
Ia mengklaim jika Indonesia sebagai salah satu negara terbaik untuk tinggal, sehingga dia mendaftarkan diri melalui beasiswa International Priority Scholarship (IPS) dari UMS. Ia pun terpilih dan memutuskan untuk mengambilnya, karena ia merasa itu merupakan sebuah kesempatan yang besar.
Sejak menjadi mahasiswa UMS dia banyak belajar, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Semenjak tiba di UMS pada Juni tahun 2022 lalu, Toha memilih menetap di Pesma. Dengan fasilitas yang ada, dia merasa sangat nyaman untuk menunjang aktivitas pembelajarannya.
“Pesma merupakan salah satu tempat terbaik di Solo (untuk menetap –red). Di sana sudah tersedia kantin dan laundri pakaian,” kata Toha, Sabtu (16/9/2023)
Dalam satu minggu, Toha memiliki 12 kelas yang harus ia jalani sebagai mahasiswa internasional. Sama halnya seperti Wesley, Toha juga menjalani akitivitas pembelajarannya seperti biasa. Ia mengikuti kelas sesuai jadwal, kemudian makan, berkumpul bersama teman-temannya, hingga berolahraga. Ia sangat senang dapat tinggal dan berkuliah disini. Kenyamanan itu membuat Toha tidak memiliki masalah dengan lingkungan yang menyangkut pertemanan.
“Orang Indonesia sangat sopan dan baik, saya sampai tidak bisa berkata apa-apa karena memang begitu kenyataannya. Mereka selalu menyambut kami seperti layaknya orang lokal,” ucapnya, Sabtu (16/9/2023)
Bicara soal keramahan orang Indonesia, Wesley senada dengan yang disampaikan Toha. Wesley mengatakan bahwa orang-orang di Indonesia yang pernah ia temui sangat menghargai satu sama lain. Sehingga ia merasa nyaman dan aman untuk tinggal di sini. Meski memiliki perbedaan dari orang kebanyakan, Wesley mengatakan bahwa ia justru banyak belajar hal lain. Berkat lingkungannya, ia juga mempelajari tentang Islam dan pancasila. “Sangat indah,” kata Wesley menyoal toleransi di UMS.
Suhu Cuaca Panas Jadi Kendala Mahasiswa Internasional
Indonesia memiliki suhu yang panas dan hanya memiliki dua musim, yakni penghujan dan kemarau. Di Zimbabwe sendiri memiliki empat musim, sehingga itu merupakan suatu kendala yang dihadapi Wesley. Pelan-pelan, kata Wesley, ia masih beradaptasi dengan suhu cuaca di Solo.
Umumnya, mayoritas masyarakat Zimbabwe memilih untuk berjalan kaki dibandingkan menggunakan kendaraan. Namun, di Indonesia dengan suhu tinggi yang dimiliki, menyebabkan Wesley lebih memilih menggunakan transportasi ojek daring (dalam jaringan)
“Di Zimbabwe saja sudah panas, Indonesia jauh lebih panas,” katanya.
Jatuh Cinta pada Makanan dan Budaya Indonesia
Wesley tampak antusias ketika ditanya soal makanan favoritnya di sini. Ia mengatakan bahwa makanan di Indonesia menjadi hal yang menarik untuk dieksplorasi. Meski punya cita rasa lebih pedas, Wesley tak punya masalah dengan itu. “Saya suka nasi goreng dan bakso malang,” kata Wesley. Suatu waktu Wesley pergi liburan ke Malang, dari perjalanan itu ia jatuh hati pada olahan bakso asal Malang itu. Namun, di Solo ia tidak menemukan bakso malang yang punya keenakan serupa dengan yang pernah ia temui di Malang.
Selain mencintai makanan Indonesia, Wesley jatuh cinta pada batik. “Saya mempunyai lima batik dan saya suka desainnya karena unik,” tutur Wesley, Kamis, (4/9/2023) yang punya cita-cita melanjutkan pendidikannya di Manchester, Inggris.
Sedikit berbeda dengan Wesley, Toha mengaku sempat kesulitan beradaptasi dengan makanan Indonesia. Cita rasa yang berbeda antara Indonesia dan negara asalnya Bangladesh membuat indera perasanya harus beradaptasi.
“Keberagaman makanan tersebut membuat saya harus beradaptasi, tapi sekarang saya sangat menyukai nasi goreng dan ayam gongso,” kata Toha.
Didukung Keluarga Meski Harus Jauh Tinggalkan Kampung Halaman
Baik Wesley maupun Toha dapat dukungan penuh dari keluarganya untuk menuntut ilmu di negeri orang. Bahkan meski harus jauh meninggalkan keluarga. Namun, dia sudah merencanakan kepulangannya pada Desember mendatang untuk menemui keluarganya.
“Keluarga saya, khususnya orang tua sangat mendukung pilihan saya. Mereka senang, tetapi mereka sekarang merindukan saya. Namun, saya tidak mau pulang,” ucap Wesley sambil tertawa, Kamis, (4/9/2023).
Sedang Toha mengungkapkan ketidakmampuannya berada di sini jika tanpa dukungan keluarga. Keluarganya bangga atas pilihan dan kegigihan Toha yang ingin melanjutkan pendidikan di Indonesia. Kini, Toha tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang telah ia dapat. Apalagi mengecewakan keluarga yang telah mendukungnya hingga sekarang. Karenanya, Toha ingin serius dalam menuntut ilmu agar pendidikan yang ia jalanin di Indonesia bisa selesai dengan lancar.
Reporter : Syafa Kusumawardani
Editor: Anisa Fitri Rahmawati