Bahan Pokok Meningkat, Mahasiswa Alami Dilema di Perantauan

LPM Pabelan

UMS, pabelan-online.com Melonjaknya harga bahan pokok menjelang bulan puasa berdampak pada mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua. Demi bertahan hidup mereka mengurangi jatah bahan makanan untuk mengatur keuangannya.

Melansir dari ekonomi.bisnis.com, Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia (RI) akan mengawasi dan mengupayakan secara tepat dalam menangani harga pangan yang melambung tinggi menjelang Ramadan 2024. Hingga saat ini di beberapa pasar harga beras mengalami penurunan yang disebabkan oleh panen raya.

“Diharapkan karena panen raya ini akan dilakukan di lapangan. Segera panen raya dalam 1 bulan ke depan akan terjadi, sehingga saya kira harga (beras) itu akan turun banyak,” ucapnya, Senin (04/03/2024).

Dihubungi oleh tim Pabelan-online.com M. Farid Wajdi, selaku Guru Besar Program Studi (Prodi) Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyebutkan, lonjakan kebutuhan bahan pokok akan mempengaruhi kebutuhan belanja sebuah keluarga jika dana yang dihasilkan hanya bisa untuk membeli kebutuhan bahan pokok. Hal ini mengakibatkan kebutuhan sekunder dan tersier berkurang.

Saat ini uang saku mahasiswa bersumber dari orang tua yang mana akan berimbas pada pengurangan jatah bulanan. Pengurangan tersebut akan berdampak pada mahasiswa, seperti terganggunya kebutuhan dengan kualitas yang menurun.

“Nah sekarang mahasiswa tidak detail untuk mengetahui perilaku konsumsi makanan seperti apa, tidak tahu persis. Apakah makanan warung atau makanan sachetan (instan – red) atau di cafe,” jelasnya, Selasa (05/03/2024).

Lanjutnya, konsumsi makanan yang berkualitas rendah menyebabkan penyakit seperti maag dan hampir dialami sebagian besar oleh mahasiswa.

Dampak yang dirasakan mengenai situasi ini adalah bahan pokok naik, uang saku turun, kualitas makanan yang rendah, serta tingkat stres yang dimiliki oleh mahasiswa.

“Mahasiswa seharusnya sejak dini bersifat produktif agar besok siap menghadapi kelangkaan pangan. Butuh pemerintah yang memiliki pengetahuan untuk mendidik kemandirian pangan bagi generasi muda,” pungkasnya.

Dosen Prodi Manajemen Universitas Islam Batik Surakarta (UNIBA), Rochmi Widayanti mengutarakan solusi yang seharusnya diambil pemerintah untuk saat ini, yakni melakukan sidak, serta melakukan keseimbangan neraca pangan dengan daerah mana yang lebih berpotensi.

“Kalau sudah ada keseimbangan neraca pangan, keseimbangan di masing-masing daerah bisa diunggulkan. Paling tidak di daerah sekitarnya,” jelasnya Selasa, (5/3/2024).

Ia menambahkan, jika Bantuan Langsung Tunai (BLT) diberikan kepada masyarakat maka akan kembali kepada karakter dari masyarakat itu sendiri. Dengan menyisipkan bantuan bibit sayur ataupun hal yang bermanfaat menjadi alternatif dalam mengatasi upaya lonjakan bahan pangan.

“Bibit sayur walaupun tidak punya tanah bisa pakai polybag (plastik tanaman – red). Itu bisa menghemat pengeluarannya lebih sedikit. Sayur mahal, tidak usah beli lagi,” tutupnya.

Nareswari Damayanti, salah satu mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Internasional UMS turut memberikan tanggapannya. Ia merasakan dampak yang ditimbulkan dari adanya kenaikan bahan pangan. Hal ini menjadi sebuah kendala dan mengakibatkan pengurangan pembelian bahan makanan.

“Saya makan satu hari sekali dan jarang masak. Karena harga bahan pangan naik, saya makan mie,” jelasnya, Selasa (05/03/2024).

Lanjutnya, ia menyebutkan solusi yang dapat dilakukan mahasiswa adalah mengatur keuangan dengan cara menabung dan menyisihkan uang, serta memilah kebutuhan yang lebih diutamakan.

“Ke  depannya harga semua bahan pokok kalau bisa yang masuk akal dan stabil. Seperti harga biasanya. Sepi bagi petani dan pebisnis beras. Mau beli sayang uangnya,” harapnya.

Reporter: Kania Aulia Nazmah Nabilla

Editor: Ferisa Salwa Adhisti

Also Read