Bunyi Bawah Kolong

LPM Pabelan

Menjadi nomaden itu terkadang ada suka dan banyak dukanya, hal inilah yang sekarang aku alami. Mengikuti jejak orang tua yang selalu pindah tempat tinggal demi sebuah pekerjaan. Uang memang sesuatu yang sangat penting dan selalu dibutuhkan oleh setiap manusia. Orang tuaku selalu berusaha untuk menjadi orang tua yang baik, walaupun mereka sering meninggalkanku sendirian ketika sedang bekerja.

Aku adalah Aura Indah Permata, nama yang cukup sering digunakan oleh orang lain. Namun, aku menyukai nama tersebut karena mempunyai arti yang cukup mendalam bagiku. Orang tuaku memberi nama tersebut dengan harapan aku selalu mempunyai aura yang indah seperti permata yang selalu berkilau. Aku anak pertama dan belum mempunyai saudara lagi.

Kisah ini terjadi pada saat umurku yang baru menginjak tujuh tahun. Pada waktu itu aku dan orang tuaku pindah ke daerah Kalimantan Tengah, tepatnya di daerah Sampit. Awalnya aku merasa bahagia, senang dan nyaman karena tempatnya sangat asri dan memiliki banyak pepohonan yang membuat suasananya semakin sejuk.

Ayahku adalah seorang polisi angkatan laut, sedangkan ibuku adalah seorang perawat. Aku sering ditinggal sendiri, karena ayahku dinas di laut dan ibuku shif malam di rumah sakit. Namun, karena aku sering sendirian, kedua orang tuaku menyewa bibi tetangga samping rumah untuk menjagaku saat malam hari.

“Jangan nakal ya, anak manis!” ucap ayah ketika berangkat bekerja.

“Iya ayah,” ucapku sedikit sedih. Lalu ayah memelukku, begitulah rutinitasku setiap ditinggal bekerja.

Tak terasa waktu berjalan cepat, lima bulan sudah terlewati di kota ini. Ketika kedua orang tuaku libur pekerjaan dan berada di rumah, aku tak sengaja melewati kamar mereka. Aku mendengar bahwa ibuku ternyata hamil tiga bulan. Aku sontak terkejut mendengar berita tersebut, namun aku memilih pura-pura tidak mendengar.

Selang beberapa minggu dari kejadian itu, saat makan malam kedua orang tuaku memberitahu padaku kalau ibu sedang hamil tiga bulan. Aku pura-pura terkejut dan senang atas hadirnya adikku. Aku berpikir, ketika adikku lahir nanti, ia akan mengambil kebahagianku sebagai anak satu-satunya.

Orang tuaku juga menjelaskan padaku, untuk sementara waktu ini ibuku akan tinggal di rumah dan tidak bekerja di rumah sakit karena untuk mejaga kehamilannya. Aku sangat senang, akhirnya aku tidak ditinggal ibu lagi untuk bekerja. Namun, ayahku tetap bekerja untuk memenuhi nafkah kami. Jadi sekarang, dirumah ada aku dan ibu.

Walaupun aku takut akan kehadiran calon adikku, aku tetap ingin dia lahir sehat. Aku tidak mau melihat orang tuaku sedih jika terjadi sesuatu pada calon adikku.

Lambat laun, usia kandungan ibuku sudah sembilan bulan dan itu waktunya lahir. Ayahku bergegas untuk mengambil cuti dan mempersiapkan kehadiran sang bayi. Aku sangat senang, akhirnya orang tua ku berkumpul bersama lagi.

Seminggu kemudian setelah ayahku cuti dari pekerjaan, sore hari ibuku mengalami kontraksi yang sangat hebat. Dikarenakan rumah sakit jauh, kami pun memanggil bidan kampung yang ada di dekat tempat tinggalku. Tiga jam kami menunggu bayi lahir, akhirnya pukul tujuh malam adikku lahir dengan keadaan sehat. Orang tuaku sangat senang sekali, aku juga sangat senang. Entah kenapa aku yang awalnya takut dan tidak senang, menyukainya. Namun setelah melihat wajah dan tangisannya aku menjadi senang, ditambah raut wajah orang tuaku yang sangat bahagia.

Malam itu, aku, ibuku, dan bidan membantu untuk membersihkan semua bekas lahiran. Kemudian ari-ari adikku tidak dikubur, namun ditempatkan pada sebuah toples kemudian dibungkus kain merah. Awalnya ari-ari itu diletakan di bawah tempat tidur ibuku, namun karena baunya agak amis, ayahku menggantungnya di luar rumah.

Ayahku yang tidak tahu mengenai tradisi dan pantangan di daerah Kalimantan pun, dengan santainya menggantung ari-ari di luar rumah. Saat tengah malam itu, kedua orang tuaku terbangun, mendengar sesuatu dibawah lantai kayu kami. Ada suara “dug-dug-dug” seperti itu dan terdengar seperti orang ngos-ngosan kehausan.

Rumahku itu seperti rumah betang, jadi bawahnya kosong dan tiangnya tinggi, sehingga memungkinkan sesuatu masuk kebawah kolong rumah kami.

Kami semua langsung panik, karena suara itu semakin jelas terdengar tepat dibawah lantai kamar ibuku. Lantai kami seperti di pukul-pukul dari bawah sehingga berbunyi

“dug dug dug! ngos…ngos…ngos…ngos” bunyi itu berulang kali kami dengar.

Ayah aku langsung keluar rumah dengan membawa senter dan pisau besar. Setelah diperiksa, ayahku melihat kuyang yang sedang kehausan darah. Ia mencari darah segar untuk diminum, terlebih lagi bau ari-ari yang amis mengundang makhluk lain mendatangi rumah kami

“Ayah ngelihat orang tanpa badan terbang, hanya ada kepala dan organ tubuh. Dia keluar dari kolong rumah kita. Tapi ayah sudah membawa masuk ari-ari adik,” kata ayah sambil sedikit gemetar. Aku dan ibuku sontak terkejut mendengarnya dan kami bergidik ketakutan.

“Sudah, ngga papa, dia udah pergi kok, kita tidur lagi ya, kita baca doa sama-sama” ucap ayahku yang berusaha menenangkan kami

“Iya yah, tapi Aura takut kalo dia datang lagi,” ucapku sambil meneteskan air mata.

“Ngga kok, ngga bakal datang lagi,” ucap ayah sambal mengusap kepalaku.

Akhirnya malam itu kami membaca doa bersama-sama dan berusaha untuk tidur. Sejak itu, aku berusaha untuk tidak mengingat kejadian itu.

Sebenarnya di tanah Kalimantan ini, sangat menyenangkan. Saat aku pindah ke sekolah baru pun aku disambut baik oleh teman-teman baru. Selain itu, aku juga senang dengan lingkungan yang damai dan sejuk. Namun, memang keharusan kita untuk mengetahui tradisi dan pantangan serta hal apa saja yang ada di suatu tempat baru. Jangan sampai, karena kita tidak tahu akan semua hal itu, kita malah jadi celaka.

 

Penulis            :Aulia Dwi Wardani

Mahasiswa Aktif Fakultas Ilmu Kesehatan

Editor             : Aliffia Khoirinnisa

Also Read