UMS, pabelan-online.com — Presiden Prabowo Subianto memecah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi tiga kementerian baru setelah dilantik pada 20 Oktober 2024. Langkah ini menuai berbagai pandangan, mulai dari upaya efisiensi anggaran hingga kekhawatiran akan politisasi.
Melansir dari laman Tempo.co, pemecahan fungsi Kemendikbudristek ini diwujudkan dalam tiga lembaga baru, yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan. Ketiga lembaga ini masing-masing dipimpin oleh Abdul Mu’ti, Satryo Soemantri Brodjonegoro, dan Fadli Zon.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, menduga bahwa pembentukan tiga kementerian tersebut berkaitan dengan mandat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak 2009, pemerintah berkomitmen mengalokasikan 20 persen dari kas negara untuk kebutuhan pendidikan.
“Agar masing-masing kementerian kemudian memiliki target untuk memenuhi hak atas pendidikan di Indonesia,” ucapnya.
Berkenaan dengan pembagian tiga lembaga tersebut, reporter pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Herlambang Perdana Wiratraman selaku pengajar di Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Pemecahan ini tidak mengefektifkan koordinasi dan justru menguatkan sektoralisme,” ujarnya menanggapi isu tersebut, Senin (28/10/2024).
Herlambang mengungkapkan bahwa pemisahan ini tak didasari pada kajian ilmiah, melainkan lebih mencerminkan kepentingan politik. Ia juga menuturkan bahwa pemecahan menjadi tiga kementerian akan memboroskan anggaran negara.
“Ini seperti politik bagi-bagi kekuasaan,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa, dalam sistem pendidikan tinggi, kekuasaan menteri untuk turut menentukan rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih menjadi kekhawatiran. Pada akhirnya, intervensi politik dalam kebijakan pendidikan tinggi masih menjadi persoalan dan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
“Pekerjaan rumah itu berhubungan dengan jaminan kebebasan akademik, otonomi universitas, anggaran, kesejahteraan dosen, komersialisasi yang membuat mahasiswa terbebani biaya pendidikan, birokratisasi, dan kendali kekuasaan melalui kontrol suara menteri atau kursi MWA (Majelis Wali Amanat – red),” paparnya.
Menurutnya hal ini berkaitan dengan kekuasaan Menteri Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), yang memiliki hak suara 35% dalam pemilihan rektor pada PTN.
Hal itu membuat situasi politik tidak pernah berubah. Intervensi politik-ekonomi terhadap arah kebijakan pendidikan tinggi masih menjadi persoalan yang tak kunjung terselesaikan.
Herlambang kemudian membagikan tautan siaran pers oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) kepada reporter pabelan-online.com untuk memperkuat pernyataannya pada wawancara. Dalam siaran pers itu, KIKA menyoroti adanya tren otoritarianisme, dengan sikap anti-kritik dan upaya membatasi organisasi akademik di kampus. Selain itu, muncul kekhawatiran tentang intervensi politik dalam pemilihan rektor serta dominasi birokrasi yang membatasi kebebasan intelektual di perguruan tinggi.
Menghadapi kondisi ini, KIKA mendesak pemerintah untuk mendukung kebebasan akademik sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam hukum internasional dan nasional. Mereka menekankan pentingnya penerapan prinsip-prinsip kebebasan akademik, seperti yang tercantum dalam Prinsip Surabaya 2017 dan Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM 2021.
KIKA menyampaikan lima rekomendasi untuk pemerintah baru, termasuk komitmen untuk menjaga demokrasi, kebijakan berbasis ilmiah, dan reformasi birokrasi di pendidikan tinggi. Mereka juga meminta Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, untuk memberikan perlindungan konkret bagi kebebasan akademik serta mengatasi berbagai masalah korupsi dan manipulasi di lingkungan akademik.
Herlambang pun mengungkapkan harapannya terkait pemberantasan dan pencegahan korupsi sekaligus pemalsuan karya ilmiah. Menurutnya itu telah mencederai kaidah akademik.
“Upaya tersebut untuk membangun budaya integritas di kampus, sekaligus memberi sanksi yang lugas bagi insan akademik yang melanggar etika atau bahkan terlibat pemanipulasian,” terangnya.
Dibalik harapan itu, Herlambang menegaskan pesan untuk membuat langkah dan cara pandang prioritas yang strategis serta konkret dalam implementasinya. Hal itu ia khususkan pada Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dalam Kabinet Merah Putih.
“Semoga lebih lugas dan imajinatif dalam membaca arah perlindungan kebebasan akademik beserta orientasi yang konkret dalam melindungi kebebasan akademik,” pungkasnya.
Reporter: Nurrahman Assa’adah
Editor: Ferisa Salwa Adhisti