Jika banyak orang berpikir bahwa gerakan reformasi 1998 itu adalah sepenuhnya oleh mahasiswa, maka itu sungguh keliru! Meski benar, mahasiswa memang menjadi katalisator dalam gerakan itu. Namun, mahasiswa kala itu tak sepenuhnya mereformasi Indonesia. Upaya reformasi 27 tahun lalu itu sejatinya belum tuntas sepenuhnya.
Ketika mahasiswa menjadi katalisator, di situ partai hadir menyokong gerakan tersebut. Tak seperti mahasiswa yang terlalu mudah senang dan puas setelah berjuang lantas berhenti, partai justru sudah lebih matang dalam mempersiapkan langkah-langkah berikutnya, yakni mengambil alih kekuasaan. Padahal, usai mereformasi, mahasiswa seharusnya tetap meninjau partai yang bergulir.
Sayangnya, setelah berhasil menggulingkan Soeharto, mahasiswa yang masih berapi-api dan labil itu malah lepas tangan mengawasi partai. Sebab, mereka pikir, setelah direformasi, maka masa depan pun akan cerah seketika.
Asumsi itu mungkin benar untuk jangka pendek, tetapi sangat keliru untuk jangka panjang. Tak seperti mahasiswa yang masih senjang dengan masyarakat, partai justru sudah memiliki jaringan hingga akar rumput. Mereka dapat dengan mudah mengindoktrinasi masyarakat kelas bawah dan memperoleh tampuk kekuasaan tanpa jerih payah ekstra.
Tokoh-tokoh seperti Budiman Sudjatmiko adalah contoh mahasiswa yang sudah dikader sejak dini oleh partai. Itulah sebabnya kelabilan mahasiswa menjadikan partai dapat dengan mudah menunggangi aksi. Demonstrasi besar-besaran kala itu adalah aji mumpung bagi partai.
Masyarakat tak perlu heran dengan posisinya sekarang yang berada di dalam kekuasaan. Besar kemungkinan, ia justru sudah bergabung dengan partai semenjak menjadi mahasiswa. Ia bukan lupa dengan gerakan dan usahanya 27 tahun lalu, melainkan, ia bahkan telah merencanakannya bertahun-tahun lalu.
Tapi, mungkinkah reformasi itu dilakukan kembali? Mungkin saja itu dilakukan. Hanya saja, yang banyak orang abaikan, mereformasi sebuah negara jelas tak semudah membalikkan telapak tangan. Mereformasi sebuah negara sangat memerlukan pengetahuan politik yang memadai.
Sementara itu, pengetahuan hanya bisa diperoleh dari kepedulian terhadap sesama terlebih dahulu. Tanpa kepedulian, seseorang tak akan mencari tahu. Sampai sini, kita belum bicara soal kepedulian dari masyarakat karena kepedulian mahasiswanya saja masih perlu dipertanyakan.
Ketidakpedulian dan minimnya pengetahuan politik di kalangan mahasiswa membuat upaya menciptakan gerakan politik (gerpol) di masyarakat menjadi semakin sulit. Belum lagi soal kebingungan publik terhadap sikap partai yang masih terombang-ambing antara bergabung dalam koalisi penuh atau tetap berperan sebagai oposisi yang membuat harapan mereformasi kembali menjadi bayang-bayang semu. Kita bisa menilainya dari aksi-aksi yang digelar belakangan.
Di Solo, misalnya. Berbeda dengan Jakarta dan wilayah lain, dampak kepemimpinan buruk Jokowi terasa begitu nyata. Dalam satu dekade, banyak masyarakat, termasuk mahasiswa, telah tenggelam dalam kubangan apatisme politik. Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat efektif untuk Jokowi berhasil membodohi rakyatnya dan melupakan sejarah.
Dalam aksi kemarin, misalnya, jumlah peserta aksinya bahkan tak sampai dua ribu orang! Sementara itu, populasi mahasiswa di Solo Raya berkisar hingga 150 ribu mahasiswa (BPS, 2024). Itu berarti sekitar 1,33% dari total populasi.
Kita belum bicara populasi penduduk Kota Solo yang berjumlah 528.044 jiwa (BPS, 2024), yang artinya, peserta aksi 27 Februari kemarin hanya sebanyak 0,38% dari total populasi di Solo. Masing-masing presiden BEM paling-paling hanya mampu menggaet 150 dari keseluruhan mahasiswa kampusnya. Dari sini, kita bisa saksikan alangkah lembeknya gerpol di Solo!
Semestinya kita malu dengan gerakan di Semarang yang mahasiswanya sampai harus mengendap-ngendap menuju kandang sapi Fakultas Peternakan Undip demi menyiapkan tahi sapi untuk disepuk ke pelataran DPRD. Kita mesti malu dengan gerakan di Jakarta yang sampai diam-diam menggelar diskusi dengan banyak organisasi, hingga menggaet para dosen, masyarakat sipil, dan pekerja kampus.
Belakangan, pandangan banyak orang terhadap isu atau bahasan politik masih saja dinilai sebagai momok yang mesti dihindari. Praktiknya, banyak orang, bahkan teman-teman terdekat saya sekalipun, memiliki ketakutan dan kekhawatiran tak berdasar dalam membicarakan politik.
Selama ini, dalih mereka menghindari pembahasan itu adalah ketakutan. Namun, ketika disoal musabab dari ketakutannya, mereka justru kesulitan menjawab alasannya. Saya tak lelah, meski sudah berkali-kali menggaungkan kepedulian akan isu politik; baik dari mendebat banyak orang hingga menyebarkan artikel, meskipun sebetulnya itu masih kurang mangkus juga.
Gerpol dapat dimulai dari melazimkan pembahasan politik dalam obrolan sehari-hari. Cemoohan kabinet-kabinet koplak pun dapat dijadikan bahan lawakan yang menyenangkan untuk dijadikan lelucon sehari-hari. Bahkan saling melempar stiker WhatsApp meme-meme koruptor, isu efisiensi, bensin yang dioplos, gaji yang minim, miskinnya lowongan pekerjaan, mestinya menjadi lelucon percakapan grup yang lumrah.
Kita tak perlu takut bersuara jika memang itu apa adanya. Membicarakan isu politik sejatinya sangatlah biasa saja. Mahasiswa Solo tak usah lebay dengan berpandangan ngeri terhadap gejolak politik. Musabab ketakutan membahas isu politik itu hanya karena dua hal: antara tidak tahu atau memang lebay.
Jika ketidaktahuan akan isu politik itu adalah sebab, maka solusinya adalah mencari tahu. Di era yang serba berkemajuan saat ini, akses untuk mengobati ketidaktahuan bisa dengan sangat mudah melalui internet. Bermodalkan ogah dan malas memulai belajar politik, alasan bisa dengan sangat mudah dikarang dan dirasionalisasi. Lebih baik berusaha dan segera menyadarinya sekarang sebelum penyesalan yang terus ditunda akan semakin menyakitkan.
Kini, menjadi mahasiswa yang berangkat kuliah lalu pulang atau kembali ke kost, kemudian lulus cum laude pun sudah tidak cukup lagi. Setelah lulus, alumni akan terancam menganggur. Untuk apa selama ini berkuliah hingga terseok-seok mengejar nilai dan lulus cum laude saja? Sungguh perjuangan empat tahun yang sia-sia jika hanya menjadi mahasiswa normatif. Percuma berkuliah selama itu jika berharap mendapat pekerjaan yang ideal dengan mudah bermodalkan gelar di negara yang porak-poranda.
Mari kita mulai dengan menggenjot konsumsi dan menyebarluaskan konten politik di media sosial. Gaya hidup mahasiswa yang kerap memamerkan foto estetik di kafe—yang sekalinya duduk menghabiskan Rp 50 ribu—atau berbelanja barang mahal yang totalnya setara dengan sepuluh kali makan di warteg bagi yang hidup pas-pasan, adalah bentuk hedonisme yang sejatinya boleh-boleh saja.
Namun, sikap pamer itu akan sangat jomplang bila dibandingkan dengan realita negaramu yang hampir bubar. Melihat pemerintah yang kian bobrok tiap hari, tak ada salahnya kita semua gencar mengotori story Instagram dan status estetik itu dengan berita ulah dungu pemerintah. Dengan begitu, sebagai mahasiswa, kita masih tetap dapat menunjukkan kepedulian, juga slogan “Agent of Change” pun tak lagi terdengar seperti omong kosong yang menggelikan.
Penulis: Han
Ilustrasi: Is’adia Sri Muthi’ah