Kampanye Politik di Dalam Kampus, Pantaskah?

LPM Pabelan

Mendekati masa terjadinya transisi kepemimpinan di Indonesia, atau yang dikenal dengan Pemilihan Umum (Pemilu) menyebabkan banyak diadakan kampanye sebagai tempat pengenalan seorang calon, baik berasal dari legislatif maupun eksekutif yang marak dilaksanakan di berbagai tempat. Tidak terkecuali kampus yang notabene dikenal sebagai lembaga pendidikan tinggi.

Kampus selama sejarahnya dikenal sebagai wadah intelektual, akademisi, ruang pengembangan diri dan tempat terciptanya banyak nama besar sebagai tokoh perubahan di setiap zaman. Sebagai tempat yang sarat dengan konsep keilmuan, apakah pantas jika nantinya terdapat pelaksanaan kampanye politik secara nyata dilaksanakan di kampus?

Perdebatan antara layak atau tidaknya pelaksanaan kampanye politik di kampus menjadi salah satu diskursus yang menarik untuk diikuti. Bagaimana tidak, wacana diperbolehkannya pelaksanaan pemilu di lingkungan kampus yang bergulir belakangan ini, salah satunya melalui perkataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, yaitu Hisyam Asy’ari, yang memperbolehkan kampus sebagai tempat kampanye secara langsung.

Jika menilik pada regulasi pemilu seperti Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, kita bisa menemukan bahwa ada larangan untuk melaksanakan kampanye di tempat pendidikan. Larangan tersebut tertuang pada Pasal 280 ayat (10) Poin H yang pada intinya melarang menggunakan tempat pendidikan di segala jenjang.

Larangan tersebut pada akhirnya membuat perbedaan tafsir terhadap suatu regulasi yang ada dan melahirkan pandangan pro-kontra terhadap pelaksanaan pemilu di kampus. Namun, jika kita mempertanyakan kembali, pantas atau tidaknya pelaksanaan kampanye di kampus, maka perlu untuk melihat dari berbagai sisi dan kesiapan mahasiswa dalam menghadapi kampanye di kampus tersebut.

Memahami Hubungan Politik dengan Mahasiswa

Mahasiswa dikenal dalam sejarah sebagai entitas yang mampu menciptakan perubahan dengan tujuan manfaat kepada masyarakat luas. Jejak perjalanan mahasiswa yang tercatat dikatakan mengesankan. Sebut saja beberapa perubahan besar seperti fenomena reformasi yang menjadi tonggak sejarah baru pembenahan yang lebih baik di Indonesia. Namun, pada dasarnya, mahasiswa ialah sekelompok belajar dalam disiplin ilmu tertentu. Peran tersebut memanglah terbilang sementara, tetapi peran tersebut memiliki target jangka panjang yang menjadikan mahasiswa sebagai peran penerus bangsa.

Mahasiswa sebagai peran manfaat tersebut perlu untuk kembali memahami dirinya sebagai bagian dari kelompok intelektual organik seperti yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci, seorang pemikir fenomenal dari Italia.

Bagi Gramsci, kaum intelektual ini bukan berada di atas pegunungan yang menjulang tinggi dan jauh dari masyarakat, tetapi seyogianya kaum intelektual ini harus berada di tengah-tengah masyarakat guna menciptakan manfaat bagi semua. Dan wadah pengembangan intelektual mahasiswa ialah kampus dengan berbagai dinamikanya.

Sebagai agen perubahan tersebut, tentu mahasiswa akan bersinggungan secara langsung ataupun tidak langsung dengan kondisi masyarakat termasuk situasi politik di dalamnya. Pemahaman politik bagi mahasiswa merupakan pemahaman penting sebagai bekal menciptakan perubahan di masyarakat.

Mahasiswa dituntut untuk mewakili tercapainya kepentingan masyarakat, dan jalur politik merupakan salah satu jalur yang perlu untuk ditempuh dalam mengubah kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Termasuk juga mahasiswa perlu untuk menjadi peran yang sadar dalam dunia perpolitikan melalui langkah mengkritisi kebijakan dan memperbaharui dunia politik yang saban hari semakin dicap kotor, termasuk aktor-aktor politiknya.

Kampanye Politik di Lingkungan Kampus Sebagai Peluang Mahasiswa Memperbaiki Perpolitikan Indonesia

Pertanyaan dasar yang bisa membawa kita berpikir adalah apakah kampanye politik berdampak seburuk itu bagi dunia akademis mahasiswa sehingga menimbulkan pro dan kontra?

Hal yang dilakukan pertama adalah kita perlu untuk memahami kampanye politik. Kampanye politik merupakan aktivitas berencana yang terorganisasi secara baik yang bertujuan untuk melindungi para kandidat agar mereka dapat melangkah dengan lapang menuju kursi legislatif atau eksekutif.

Kampanye politik yang diorganisasi dengan baik selalu berusaha untuk mendapatkan pengaruh dari balikan dari khalayak, lebih khusus para pemilih yang akan membuat keputusan yang tepat yang dapat melanjutkan pengaruh tersebut pada kelompok-kelompoknya (Liliweri, 2011).

Melihat pada UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, terdapat dua tafsiran utama yang banyak dipakai oleh pihak pro atau kontra terhadap diperbolehkannya melakukan kampanye di kampus. Pertama, tafsiran bahwa larangan dalam kampanye berada pada penggunaan fasilitas pendidikan. Sementara di lain sisi menafsirkan bahwa kampanye yang dilarang ketika dilaksanakan di lingkungan pendidikan secara total, meliputi tempat, individu, fasilitas, dan lainnya.

Kekhawatiran kampanye politik yang dilakukan di lingkungan kampus sendiri bukan tanpa alasan. Kampus dianggap sebagai sarana pembentukan dan pendidikan individu menuju kebaikan dan elok. Ketika wacana kampanye politik diperbolehkan memasuki arena pendidikan tersebut dikhawatirkan mencederai dari tujuan kebaikan dan keelokan yang ada di dalamnya.

Padahal, politik yang meskipun dikenal sebagai suatu hal kotor, sejatinya merupakan gagasan yang luhur. Segala hal yang terjadi di lingkungan sekitar merupakan dampak dari dinamika politik yang terjadi. Sayangnya ketika banyak orang yang berbicara dan terdampak politik, hanya segelintir individu yang mau terlibat lebih serius di dalamnya menjadi aktor politik itu sendiri.

Oleh karenanya kesadaran sebagai mahasiswa adalah kesadaran bahwa mahasiswa bukanlah manusia rasional belaka yang hanya bermain di tataran teoritis saja. Namun, mahasiswa bisa mengambil peran sebagai aktor manusia politik yang juga terlibat dalam praktik politik guna manfaat bagi masyarakat secara luas.

Dari beberapa hal tersebut kita bisa melihat peluang bahwa wacana masuknya kampanye politik di kampus menjadikan mahasiswa mampu untuk menguji bagaimana suatu gagasan seorang aktor politik yang mempropagandakan pemikirannya melalui agenda kampanye.

Kampanye yang dilaksanakan di kampus juga haruslah disesuaikan dengan kultur keilmuan yang bertanggung jawab, ilmiah, egaliter, dan kritis. Aktor politik seharusnya paham ketika mereka memasuki arena kampus untuk berkampanye, maka akan menemukan pertarungan gagasan ataupun wacana yang intelek dan bertanggung jawab.

Aktor politik berkampanye politik di kampus harus memiliki kadar intelektual yang mumpuni, siap ditelanjangi kekurangan dalam gagasannya dan paham etika politik yang sesuai, sehingga kampanye yang dilakukan bisa menjadi peluang terciptanya gagasan besar yang berorientasi pada pembenahan di berbagai sektor kehidupan bangsa.

Menanggapi wacana tersebut juga harus direspons oleh mahasiswa sebagai tantangan dalam menyiapkan narasi besar yang mampu menguliti gagasan yang dibawa oleh para aktor politik dalam kampanye politiknya.

Jangan sampai mahasiswa tidak mampu menjadi anti-tesis gagasan terhadap gagasan aktor politik yang berkampanye dan menimbulkan hal yang tidak diinginkan ataupun menjadikan mahasiswa sebagai domba yang bodoh dan hanya ikut kepada apa pun perkataan tuannya.

Oleh karenanya, pantas saja sebetulnya jika dilaksanakan kampanye politik di kampus dengan berbagai kesiapan, baik dari segi kesiapan aktor politik yang berkampanye, kesiapan mahasiswa menjadi mitra dialog yang mampu menguji gagasan calon, ataupun kesiapan secara regulasi kampanye politik yang tidak mencederai ideal kampus sebagai wadah pembentukan individu intelektual yang bertanggung jawab dan berdampak manfaat.

Meskipun begitu, ketika keseluruhan kesiapan yang ada masih belum terbangun dan kondisi perpolitikan masih banyak dipenuhi intrik kotor karena banyak dimainkan aktor politik bodoh yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri, penulis merasa wacana masuknya kampanye politik di lingkungan kampus justru bisa saja menciptakan dampak negatif di masa depan.

Penulis: Muhammad Iqbal Kholidin

Mahasiswa Aktif Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

 

Editor: Ramadhani Nisa Alhanifa

Also Read

Tinggalkan komentar