Mekanisme Pelaporan Kekerasan Seksual di UINAM Tidak Jelas, Korban Pilih Lapor LBH

LPM Pabelan

UMS, pabelan-online.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar pada press release-nya tercatat sudah ada empat laporan terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM). Press release ini diterbitkan pada 8 Oktober 2024 setelah konferensi pers LBH Makassar yang membahas darurat demokrasi dan ruang aman di UINAM.

Alasan utama korban melaporkan kasus ke LBH Makassar diduga karena kinerja Satgas PPKS UINAM yang dinilai kurang transparan dan tidak responsif. Hal ini terlihat dari minimnya progres dan kurangnya fasilitas pendukung yang disediakan kampus untuk penanganan kasus kekerasan seksual, sehingga korban merasa lebih aman melapor ke pihak eksternal.

Dihubungi oleh reporter pabelan-online.com, Nunuk Parwati Songki selaku staf Perempuan, Anak, dan Disabilitas di LBH Makassar, menyatakan bahwa hal ini menunjukkan adanya indikasi kinerja Satgas PPKS yang belum maksimal.

“Kami tidak bisa menjustifikasi alasan pastinya, tetapi dari empat kasus kekerasan berbasis gender yang masuk ke LBH, tiga di antaranya adalah kasus kekerasan seksual yang menggambarkan bagaimana kerja Satgas di UINAM belum maksimal dan harus dievaluasi,” kata Nunuk, Rabu (16/10/2024).

Dari tiga kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke LBH Makassar, jumlah korban adalah enam orang. Mengenai tipologi pelaku dari ketiga kasus kekerasan seksual, dua di antaranya pelaku merupakan pegawai di UINAM dan satunya mahasiswa.

Mengenai perkembangan kasus, Nunuk menyatakan bahwa salah satunya sudah diproses oleh pengadilan di Sulawesi Selatan, namun ia tidak memberikan rincian lebih lanjut terkait detail proses hukum tersebut.

Melihat salah satu kasus yang diterima oleh LBH Makassar yang berakhir damai dan Satgas PPKS turut terlibat, nunuk menanggapi bahwa seharusnya kasus kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan dengan mekanisme Restorative Justice (RJ).

“Kasus kekerasan seksual bukanlah kasus pidana ringan yang bisa diselesaikan dengan RJ. Ada aturan dan syarat tertentu yang harus dipenuhi, dan yang paling penting pemulihan korban harus diutamakan,” tegasnya.

Nunuk juga menekankan pentingnya penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas dan efektif untuk menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, termasuk UINAM. Menurutnya, setiap kampus harus memiliki aturan yang spesifik dalam menangani kasus tersebut yang jelas berbeda dari kasus-kasus lainnya, seperti pelanggaran akademik.

Ia menyoroti bahwa, proses penanganan kekerasan seksual harus melibatkan pendampingan psikologis sejak awal dan korban harus diberi ruang untuk menentukan langkah apa yang mereka inginkan dalam penyelesaian kasusnya.

“Yang jadi pertanyaan, apakah UINAM sudah memiliki SOP PPKS? Dan jika sudah, apakah penyusunannya melibatkan pihak yang memiliki kapasitas terkait penanganan kasus kekerasan seksual? Lalu apakah SOP itu sudah pernah diuji publik? Mengingat kampus punya tanggung jawab kepada publik sebagai perguruan tinggi. Itu semua yang harus dijawab oleh UINAM,” ujarnya.

Nunuk menyebutkan bahwa kasus yang dilaporkan ke LBH Makassar terkait kekerasan seksual di UINAM tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga pegawai kampus.

Di akhir wawancara, Nunuk berpesan kepada UINAM terkait langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kepercayaan mahasiswa dalam melaporkan kasus kekerasan seksual. Ia menekankan pentingnya menciptakan ruang aman di kampus melalui sosialisasi, edukasi, dan transparansi.

“Semoga UINAM bisa menjadi kampus yang aman untuk semua gender, dan tentunya bukan kampus yang fasis,” harapnya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Presiden Mahasiswa Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UINAM, Fadil Mussafar, juga memberikan tanggapannya terkait kasus kekerasan seksual yang melibatkan civitas academica di kampusnya. Ia menyatakan bahwa, Dema UINAM selalu mempertanyakan tindak lanjut dari kasus-kasus kekerasan seksual kepada pimpinan kampus, meskipun Dema sendiri belum pernah menerima laporan langsung dari korban.

Terkait kasus tersebut tidak ada fasilitas atau mekanisme pelaporan yang jelas di UINAM termasuk pada SOP untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Fadil juga menilai Satgas PPKS UINAM kurang progresif dalam menangani kasus-kasus yang terjadi dan mengkritik kurangnya fasilitas yang disediakan untuk mendukung kinerja Satgas.

Menurutnya, meskipun sudah dilakukan audiensi dengan pimpinan kampus, hingga saat ini belum ada kejelasan terkait tempat atau fasilitas yang mendukung kerja Satgas PPKS.

“Kami sudah dua kali mengadakan audiensi dengan rektor mengenai kasus kekerasan seksual, tetapi mereka hanya mengatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk menyediakan fasilitas bagi Satgas PPKS,” ujarnya, Selasa (15/10/2024).

Untuk mendukung korban kekerasan seksual, Fadil menyatakan bahwa Dema siap mendampingi mahasiswa yang melapor dan akan mengawal kasusnya hingga tuntas. Ia juga berpesan kepada UINAM agar memberikan sanksi tegas kepada pelaku agar kasus serupa tidak terulang kembali, sekaligus memberikan fasilitas yang memadai bagi Satgas PPKS UINAM.

“Harapan saya, dengan adanya edukasi soal kekerasan seksual di kampus, semakin banyak orang yang sadar akan isu ini dan tetap mengedepankan adab serta moral dalam berinteraksi, sehingga ilmu yang diperoleh dapat berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, bukan malah memanfaatkan orang banyak,” pungkasnya.

Reporter: Ferisa Salwa Adhisti

Editor: Aulia Azzahra

Also Read