UMS, Pabelan-online — Kasus yang menjerat Akil Mochtar ternyata sudah diprediksikan jauh-jauh hari. Hal ini tidak jauh dari beberapa perluasan kewengan MK yang menerima sengeketa Pilkada. Hal ini menimbulkan kekhawatiran potensi korupsi pada Jajaran Mahkamah Konstitusi.
Dijelaskan oleh Iswanto, proses Pilkada yang berlangsung menggunakan Demokrasi Langsung selain berbiaya tinggi juga berpotensi rawan korupsi. Terlebih gesernya paradigma dalam penyelesaian sengekata pemilu yang sekarang lebih pada faktor-faktor penentu hasil pemilu, bukan pada hasil pemilu (jumlah suara) yang diperselisihkan. Sehingga sidang sengeketa pemilihan umum harusnya tidak memabawa pengacara.’’Cukup bawa kalkulator saja,” ujarnya Kamis (10-10-2013)
Dampak demokrasi langung yang diterapkan pilkada memang menguras biaya yang mahal. Sehingga bohong dan munafik bagi para calon yang tidak mengeluarkan uang sepeserpun dalam pemilihan umum. Sehingga nanti ketika terpilih adalah berlaku prinsip 2-1-2. ”2 tahun untuk balik modal, 1 tahun mencari untung, dan 2 tahun untuk persiapan pemilu berikutnya,” tegasnya.
Iswanto memberi jalan keluar Mk diawasi kinerjanya oleh suatu badan. Dengan demikian maka kinerja MK bisa terus diawasai dan dievaluasi. Iswanto memandang jalan ini cukup efektif karena untuk merubah putusan putusan yang terindikasi oleh intervensi politik adalah mustahil.”Karena ada asas putusan hakim dianggap benar,” ungkapnya.
Dan jika ada sengketa Pilkada maka lebih baik diselesaikan di mahkamah agung, hal ini penting untuk mengembalikan khittah MK sebagai lembaga penjaga konstitusi dan fokus pada fungsinya sebagai Judicial Review.
Editor: MK