Tak Ada Pelanggaran Hukum, Represifitas di Wadas Terlalu Eksesif

LPM Pabelan

UMS, pabelan-online.com – Pengepungan oleh ribuan aparat kepolisian di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah warga berlangsung sejak Senin, 7 Februari 2022. Hal itu dikarenakan sengketa lahan pertambangan untuk material proyek Bendungan Bener. Warga yang menolak pembebasan lahan dianggap memprovokasi warga lainnya, sehingga mengalami represifitas oleh aparat yang berpatroli di Desa Wadas.

Konferensi pers yang digelar melalui platform Zoom Meeting oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) atau Wadas Melawan, bertujuan mengetahui kondisi terkini pasca penangkapan warga Wadas pada 8 Februari hingga 9 Februari 2022. Konferensi pers tersebut diadakan pada Kamis, 10 Februari 2022. Konferensi pers ini juga mendatangkan beberapa saksi dari pihak warga Wadas, tim pendamping, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Dalam konferensi pers tersebut, Heronimus Heron selaku moderator memaparkan kronologi pengepungan di Desa Wadas dan beberapa tim pendamping yang memaparkan kondisi terkini warga Wadas. Dari hasil konferensi pers ini, terdapat beberapa poin kronologi yang dibahas terkait kondisi terkini pasca penangkapan.

Kronologi Pengepungan Desa Wadas oleh Aparat Kepolisian

Berawal pada Senin, 7 Februari 2022 siang, ribuan aparat kepolisian kembali memasuki Desa Wadas. Hari itu mereka berbaris di Purworejo dan mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto, Kecamatan Bener, Purworejo yang berlokasi di belakang Polsek Bener. Pada malam harinya terjadi pemadaman listrik. Padahal desa-desa lain di sekitar Wadas tidak mengalami pemadaman tersebut.

Pada Selasa, 8 Februari 2022 sekitar pukul 07.00 WIB, dua orang warga yang akan ke Kota Purworejo berada di warung dekat Polsek Bener didatangi beberapa oknum polisi, kemudian dibawa ke Polsek Bener. Salah seorang berhasil lolos dan kembali ke Desa Wadas. Pada pukul 09.00 WIB, tim pengukur dari Kantor Pertanahan Purworejo mulai memasuki Desa Wadas dan akses masuk ke Desa Wadas di sekitar Polsek Bener sudah dipadati aparat kepolisian. Sejam kemudian, beberapa mobil polisi memasuki Wadas dan merobek serta mencopot poster-poster yang berisikan penolakan terhadap pertambangan di Desa Wadas.

Pukul 12.00 WIB, aparat kepolisian mengepung dan menangkap  warga yang sedang mujahadah di masjid yang berada di Dusun Krajan. Sementara proses pengukuran yang dilakukan di hutan tetap berjalan. Dan pukul 12.24 WIB, aparat kepolisian mendatangi ibu-ibu yang sedang membuat besek di posko-posko jaga dan merampas besek, pisau, dan peralatan lainnya.

“Polisi juga meneror dan melakukan kriminalisasi terhadap warga Wadas dengan menangkap lebih dari 60 orang dengan alasan yang tidak jelas. Mereka berkeliling ke setiap rumah dan merengsek masuk ke rumah-rumah warga tanpa seizin pemilik rumah,” ujar Heron di konferensi pers, Kamis (10/2/2022).

Pukul 13.05 WIB, polisi kembali menangkapi puluhan warga bahkan anak-anak kecil. Sedangkan warga kesulitan untuk mengabarkan kondisi lapangan karena ada indikasi sinyal di-takedown. Hingga pukul 17.30 WIB, ibu-ibu di Desa Wadas masih terjebak di Masjid Dusun Krajan, meskipun sudah ada beberapa yang berhasil keluar. Warga ketakutan dan berkumpul di satu titik, yakni Masjid Krajan. Sementara beberapa warga yang lain mencari tempat aman karena dikejar-kejar preman atau intel kepolisian.

Pengepungan masih berlangsung hingga Rabu, 9 Februari 2022, sejak pukul 08.00 WIB, aparat kepolisian kembali melanjutkan penyisiran ke beberapa titik, seperti masjid, balai desa, rumah-rumah, dan pos-pos penjagaan milik warga. Selain di Dusun Randuparang, aparat kepolisian-TNI juga memenuhi Dusun Winong. Persis seperti yang terjadi di Dusun Randuparang, warga di Winong juga hanya berani mengawasi aktivitas aparat kepolisian-TNI dari dalam rumah.

“Jika kalian melihat video dengan angle dari jendela, itu adalah situasi yang terjadi di Wadas. Di mana warga hanya berani melihat dari jendela rumah masing-masing,” kata Heron.

Hingga pukul 15.00 WIB, ribuan aparat kepolisian berpakaian lengkap, menenteng senjata dan tameng masih berseliweran di Desa Wadas. Kurang lebih pukul 16.30 WIB, 67 orang yang ditahan di Polres Purworejo sudah berhasil kembali ke Desa Wadas berkat penanganan tim kuasa hukum dan tekanan dari sejumlah pihak, baik melalui media sosial maupun aksi solidaritas di berbagai titik.

Pemaksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian berlanjut pada Kamis pagi. Beberapa rumah warga didatangi oleh sejumlah aparat dengan alasan yang sama, yakni penyerahan SPPT dan KK. Selain memaksa menyerahkan surat-surat itu, aparat juga kembali mendatangi rumah-rumah warga yang berjuang menolak tambang dan memaksa mereka menandatangani surat persetujuan proyek pertambangan di Wadas.

“Siangnya ada 10 truk polisi masuk, salah satu truk berisi anjing pelacak yang rencananya akan dilepas ke hutan untuk mencari warga yang lari ke hutan. Ada juga 30-an motor pribadi masuk dan motor rombongan preman banyak juga. Hari ini tidak ada penangkapan, desa sudah seperti desa mati,” ungkap salah satu warga Wadas di konferensi pers.

Dilansir dari postingan akun media sosial twitter Gempa Dewa, pada jumat 11 Februari 2022, aparat kepolisian kembali datang ke Desa Wadas seiring dengan kedatangan sejumlah anggota Kantor Staf Presiden, untuk mendengar secara langsung alasan warga Wadas menolak Proyek Pertambangan di Wadas. Sedangkan aparat masih hilir mudik di beberapa titik di Desa Wadas.

Pandangan dari LBH Muhammadiyah Jawa Tengah, Dosen Hukum, dan Aktivis Mahasiswa

Menanggapi hal tersebut, Aidul Fitriciada Azhari selaku dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) berpendapat penggunaan aparat polisi dalam kasus tersebut dinilai terlalu eksesif. Menurutnya tindakan represi hanya dapat dilakukan jika ada pelanggaran hukum. Sedangkan di Desa Wadas tidak ada pelanggaran hukum, melainkan musyarawarah yang belum selesai karena adanya kubu yang setuju dan tidak setuju.

Proses pengambilan keputusan  semestinya dapat dilakukan melalui proses musyawarah, meskipun akan memakan waktu yang lama karena memerlukan teknik, biaya, dan kemampuan pendukung lainnya. Ia berpendapat perlu adanya demokrasi permusyawaratan berbasis representasi.
“Intinya pengambilan keputusan itu seharusnya untuk memperoleh pertimbangan publik, bukan pembentukan opini publik sehingga seolah-olah hanya ada satu pendapat yang berhadapan,” Ungkapnya Sabtu (12/2/2022).

Menurut Ponxi Yoga Wiguna, dari tim LBH Muhammadiyah Jawa Tengah, permasalahan represifitas itu perlu dikaji dan diteliti lebih dalam faktor-faktor, sebab-sebab, serta kepentingan-kepentingan yang menyertainya sehingga menimbulkan dugaan abuse of power oleh aparat kepolisian Republik Indonesia.

Ia mengungkapkan pihak Muhammadiyah sendiri telah membentuk tim gabungan untuk merespons tragedi sosial dan hukum tersebut, yang terdiri dari unsur Majelis Hukum dan HAM (MHH), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), serta Lembaga Bantuan Hukum(LBH) MU.

“Bantuan dari tim gabungan tersebut, langkah awalnya disediakan Posko Peduli Relawan yang berkedudukan di PDM Purworejo, di samping selanjutnya tim gabungan tersebut akan terus menganalisis, mengkaji, dan mengumpulkan fakta-fakta hukum yang independen dan menyeluruh demi hukum dan keadilan,” jelasnya kepada tim Pabelan-online.com, Jumat (11/2/2022).

Muhammad Taufiq Ulinuha, salah satu aktivis mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMS turut memberi tanggapan mengenai kejadian di Desa Wadas. Melalui wawancara dengan reporter Pabelan-online.com, ia sangat menyayangkan dan mengecam tindakan yang dianggap nir-adab dan tidak berperikemanusiaan ini. Secara organisasi, pihaknya turut menandatangani pernyataan sikap aliansi mengecam tindakan represifitas aparat. Namun untuk turun langsung ke lokasi ataupun aksi di jalan, ia masih menunggu koordinasi dari DPD IMM Jawa Tengah.

“Semoga pemerintah mau mendengarkan saran dan masukan dari berbagai pihak seperti Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah maupun Komnas HAM, serta mencari solusi dengan mengedepankan musyawarah dan tindakan yang humanis,” harap Ulin, Jumat (11/2/2022).

Reporter         : Ashari Thahira dan Shafy Garneta Maheswari

Editor             : Aliffia Khoirinnisa

 

Also Read