Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, tak terkecuali di lingkungan kampus. Kampus yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menuntut ilmu dan memberikan kontribusinya di dunia akademik, justru menjadi salah satu tempat maraknya aksi kekerasan seksual.
Ironisnya, kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus sebagian besar korbannya adalah perempuan dan pelakunya adalah pihak civitas academica kampus itu sendiri. Rata-rata korban kekerasan seksual atau para penyintas kekerasan seksual di kampus tidak berani melaporkan ke pihak berwenang untuk menangani permasalahan ini. Karena tidak jarang korban dan para penyintas kekerasan seksual di kampus justru mendapatkan perlakuan negatif dari warga kampus tersebut, bahkan dibungkam untuk bersuara. Tidak jarang pula korban kekerasan seksual tidak berani untuk berbicara karena takut dikeluarkan dari kampus, yang sudah menganggap sebagai “aib”.
Menurut Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual melalui kontak fisik maupun non fisik yang ditujukan pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang.
Tindakan-tindakan yang diindikasikan sebagai kekerasan seksual meliput siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan ketidaknyamanan, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan jiwa.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun, peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2021 terdapat 2.500 kasus.
Angka ini melampaui catatan pada tahun 2020 yakni 2.400 kasus. Namun dalam catatan Komnas Perempuan memaparkan data bahwa kekerasan seksual di lingkungan pendidikan antara tahun 2015-2021 paling banyak terjadi di perguruan tinggi atau universitas. Sebanyak 35 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masuk ke Komnas Perempuan dalam periode tersebut.
Manfaat dan Tujuan Adanya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 Bagi Mahasiswa
Manfaat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 agar menjadi pedoman untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Hasil dari penelitian ini yakni Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memberikan solusi perlindungan kepada setiap pihak untuk dapat mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.
Tujuan dikeluarkannya peraturan ini adalah sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, bukan mendorong perzinaan. Kekerasan seksual yang dimaksud dalam Permendikbud ini diartikan sebagai bentuk perbuatan yang dilakukan secara paksa tanpa persetujuan dari korban.
Mengapa peraturan ini harus hadir dan segera ditindaklanjuti secara teknis oleh seluruh pimpinan kampus atau perguruan tinggi di Indonesia?
Nadiem Makarim, selaku Mendikbudristek menyebut kalau Permendikbud ini digunakan sebagai upaya merespons atas meningkatnya kasus kekerasan seksual yang sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk pandemi baru. Apalagi selama ini belum ada peraturan dan perundang-undangan di Indonesia yang mampu menangani permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Meskipun peraturan ini awalnya menuai banyak protes dari kalangan agamawan karena muncul istilah consent atau persetujuan korban yang dianggap sebagai bentuk legalisasi seks di luar nikah.
Namun, peraturan ini sebenarnya mampu memberikan kepastian hukum bagi pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual di tempat masing-masing. Permendikbud ini hadir untuk membangun ekosistem perlindungan dan dukungan terhadap korban kekerasan seksual agar memperoleh pemulihan dan keadilan.
Kampus Harus Melakukan Apa?
Berdasarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, kampus harus mempelajari modul pencegahan kekerasan seksual, khususnya yang dikeluarkan oleh kementerian agar mengetahui dan memahami alur uji pra dan pasca pembelajaran pada mahasiswa, pendidik, maupun tenaga kependidikan. Modul ini juga berisi penjelasan filosofi pendidikan dan cara yang tepat untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di kampus.
Hal wajib yang harus dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi adalah membentuk satuan tugas (satgas) khusus yang bersifat non ad hoc. Yang bisa bergabung menjadi satgas khusus adalah berasal dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Mereka yang akan bergabung dalam satgas ini harus dipastikan tidak pernah melakukan atau membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
Satgas khusus non ad hoc juga hadir untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan, perlindungan, dan pemulihan berdasarkan persetujuan korban. Satgas di kampus harus memberikan respons penuh empati terhadap laporan korban dan tidak membuat korban harus menceritakan kejadian yang dialaminya berulang kali. Sebab hal tersebut akan menimbulkan beban psikologis tersendiri bagi korban.
Penulis : Abdur Rahman Wahid
Mahasiswa Fakultas Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Editor : Gardena Dika Muharomi