SEED Institute: Komunitas Mahasiswa Membangun Pemikiran dan Peradaban Islam

LPM Pabelan

Mahasiswa notabene dikenal dengan kaum intelektual, mereka (mahasiswa – red) dengan rata-rata usia muda penuh dengan gagasan dan ide-ide yang kreatif, imajinatif guna memberdayakan lingkungan sekitarnya. Seperti salah satu komunitas yang berdiri di lingkup Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan mempunyai cita-cita membangun intelektualitas mahasiswanya, yaitu SEED Institute. Komunitas ini juga terbuka bagi seluruh mahasiswa di Solo Raya dan bergerak di ranah “Pemikiran dan Peradaban Islam”.

Jika melihat sejarahnya, peradaban islam pernah mengalami perkembangan yang sangat begitu pesat dengan berbagai peran tokoh intelektual islam. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman yang penuh tantangan ini, yang mana kebudayaan Barat telah menyelusup ke berbagai aspek dengan mempengaruhi cara pandangan kita sebagai kaum muslimin, sehingga keluar dari prinsip-prinsip Islam. Di sisi lain terdapat juga pandangan yang melanggengkan kejumudan berpikir mengakibatkan kemunduran peradaban.

Tim Reporter Pabelan-online.com menghubungi Azizah Romadhona, ia merupakan Alumni Ilmu Qur’an Tafsir (IQT) UMS Angkatan 2017 salah satu penggagas komunitas SEED Ins dari ketiga penggagas lainnya. Saya dan Azizah tidak bisa bertemu secara langsung, dikarenakan Azizah sedang menempuh kuliah Strata Dua (S-2) di Jakarta. Tapi, hal tersebut tidak menjadi masalah, Saya dan Azizah melanjutkan perbincangan melalui forum dalam jaringan (Daring) Google Meet (G-Meet), untuk membahas lebih lanjut perihal komunitas yang ia dirikan.

Kekeringan Intelektual dan Tantangan Pemikiran Menjadi Alasan Komunitas SEED Institute Berdiri

Azizah, bersama ketiga rekan lainnya, Ferdi, Wildan, dan Asad. Mereka yang berlatar belakang Mahasiswa Fakultas Agama Islam (FAI), dengan frekuensi yang sama menginisiasi komunitas ini. Azizah menuturkan mulanya pada Bulan Desember 2019 SEED Ins belum sepenuhnya dapat dikatakan berdiri, karena waktu itu hanya sebuah tongkrongan dan forum diskusi.

“Jadi, saya merupakan salah satu founder dan pernah menjadi koordinator juga. Gagasan sudah dari 2019 akhir (Desember – red) tapi belum bisa disebut berdiri sebagai komunitas. Itu masih berupa tongkrongan-tongkrongan diskusi,”. Ungkapnya, Jumat (20/10/23).

Awalnya keempat orang penggagas tersebut merasa ada kekeringan intelektual yang mengakar dalam banyak diri mahasiswa yang menjalani organisasi. Kebanyakan organisasi hanya berfokus pada pembuatan acara-acara besar dan saling berlomba-lomba untuk menunjukkan kekuatan eksistensi organisasi.

Bagi Azizah dan rekan lainnya, organisasi kampus berguna untuk menunjang akademik dan skill mahasiswa, tetapi malah disibukkan dengan rapat-rapat dan agenda administrasi lainnya. Maka dari itu, SEED Ins didirikan sebagai komunitas yang bisa lebih fleksibel. Menurut Azizah komunitas ini tidak ditemukan struktur yang sangat rumit dan administrasi yang terlalu memusingkan, agar tujuan komunitas lebih dapat dicapai sebagai komunitas keilmuan.

“Kepanitiaan dan rapat sana-sini untuk membuat acara besar, malah ketika acara berlangsung tinggal capeknya dan asik mengobrol sendiri di belakang. Padahal prioritas ilmu dari acara (seminar – red) tersebut untuk kita sendiri sebaga anggota, tapi sering dilupakan”, tuturnya.

Azizah menerangkan, di zaman sekarang penuh tantangan intelektual baik dari peradaban Barat atau dari dalam umat Islam sendiri. Peradaban Barat yang sedang mendominasi dunia mempengaruhi cara pandang manusia tak terkecuali umat Islam. Relativisme kebenaran, antrophosentrisme, sekulerisme, liberalisme, merajalela dalam dunia pemikiran. Agama dianggap sebagai penghalang kebebasan dan keberadaan Tuhan mulai disingkirkan.

Sehingga ilmu-ilmu yang dihasilkan dengan cara pandang tersebut kadang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Sayangnya, baginya banyak mahasiswa yang tersilaukan oleh cara pandangan demikian itu dengan dalih ‘kemajuan’.

Di sisi lain juga ditemukan pemahaman sebaliknya. Jumud dan tidak ingin berkembang. Menganggap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak ada gunanya, karena tidak akan ditanyakan nanti di akhirat. Sehingga sangat anti terhadap keilmuan yang datang dari Barat.

SEED Ins hadir untuk menengahi hal ini. Bagi Azizah, kita semua harus mengakui perkembangan ilmu yang datang dari Barat dan mengapresiasinya. Namun, kita juga harus sadar bahwa ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Maka di sini harusnya menurut Azizah, bisa diterapkan islamisasi ilmu pengetahuan dan pengilmuan Islam yang menjadi core dari gerakan SEED Institute.

Kedua prinsip tersebut diambil dari pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Kuntowijoyo. Sederhananya, perkembangan ilmu dari Barat kita saring, dibuang unsur-unsur westernisme dan sekulerismenya. Kemudian ilmu yang telah di-dewesternisasi tersebut diintegrasikan dengan konsep-konsep yang ada dalam Islam. Adapun pengilmuan Islam sendiri merupakan konstruksi ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an dan Sunah.

Kemudian, pada bulan Maret 2020 resmi berdiri dengan nama komunitas SEED Institute. Karena menekan pada sebuah komunitas ilmiah, sebelumnya Azizah bersama rekannya menggandeng mahasiswa-mahasiswa Solo dari berbagai jurusan serta beberapa dosen-dosen di Solo dan alumni-alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor sebagai pembimbing diskusi.

Komunitas ini juga berjejaring dengan berbagai komunitas dengan visi yang sama untuk saling berdiskusi dan mengembangkan pemikiran, seperti dengan Yayasan Bentala Tamaddun Yogyakarta, komunitas At-Tanwir, dan sebagainya.

Membangun Peradaban dengan Mengembangkan Kepakaran

Komunitas yang menyasar untuk mahasiswa kuliah di solo atau orang solo, terbilang cukup fleksibel dan dinamis dalam pelaksanaan agenda kegiatannya. Pasalnya komunitas ini tidak mempunyai tempat tetap untuk mereka berkumpul. Sehingga dalam agenda acara internal diskusi atau kelas luring, masing-masing pegiat (sebutan untuk anggota – red) mencari tempat Warung bubur dan kacang hijau (burjo) atau tongkrongan tempat makan mahasiswa untuk berkumpul. Semenjak beberapa pegiat telah lulus kuliah, diskusi-diskusi internal diadakan secara hybrid.

Saat ini, jumlah anggota komunitas ini berjumlah 18 orang. Bukan tanpa alasan komunitas ini memiliki jumlah anggota yang terbilang sedikit. Azizah menuturkan, bahwa ia menginginkan anggota di komunitas yang ia dirikan benar-benar serius.

Berjalan pada tahun ketiga, beberapa program dan agenda telah dilakukan pada komunitas ini. Untuk kegiatan eksternal ada workshop, sekolah profetik, kelas baca, kelas belajar, kelas sastra, kelas isu perempuan, dan beberapa diskusi dengan tema yang disesuaikan kepakaran dosennya. Kegiatan internal ada diskusi yang diadakan biasanya dari buku-buku atau tema-tema yang disesuaikan dengan bidang keilmuan masing-masing.

“Jangan sampai sukanya baca buku seperti apa, tapi kita lupa lupa kepakaran ilmu masing-masing,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, SEED Ins telah membuat dua E-Book dari kelas-kelas yang telah diadakan. Rencananya akan menyusul penerbitan dua buku lagi yang merupakan hasil akumulasi kelas-kelas yang diadakan pembinanya dulu Alm. Andika Saputra yang kini beliau telah tiada, dan berharap buku yang dibuat bisa dibaca kepada oleh orang banyak.

Kehilangan sosok pembina pada Januari 2023 lalu, yang sudah mereka anggap seperti sosok Ayah sendiri tentu tidak mudah. Karena berdirinya SEED Ins tidak terlepas oleh peran dukungan dan gagasan intelektual dari Andika Saputra, selaku pembina. Meski demikian, dengan adanya komunitas SEED Ins bagi Azizah yang sudah ia anggap sebagai keluarga bahkan bisa menjadi sebuah wadah untuk saling sharingsharing seperti beasiswa dan diskusi masalah planning masa depan.

Azizah berharap, SEED Ins ini bisa terus berjalan. Pegiat dan pembina SEED Ins juga memiliki impian kedepan bisa membangun pondok pesantren mahasiswa. Dimana mahasiswa nantinya bisa berkuliah apa saja dengan bidang keilmuan masing-masing, kemudian akan dibangun melalui pendidikan di pondok mahasiswa tersebut cara pandang Islam yang benar agar tidak keliru dalam memahami realitas.

“Disini kita tidak lupa sama kepakaran masing-masing. Bagaimana kita mau membangun peradaban, kalau lupa akan kepakarannya masing-masing,” Pesan Azizah, mengakhiri percakapan.

Reporter: Shafy Garneta Maheswari

Editor: Muhammad Iqbal

Also Read