Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Langit gelap tanpa bintang, angin berhembus kencang. Seperti akan turun hujan. Di dekat pos satpam, Puspa duduk di salah satu bangku sambil merapatkan jaket, menunggu jemputan. Teman-teman yang lain sudah pulang. Kegiatan klub baca biasanya tidak selesai selarut ini, namun ada rapat penting yang harus mereka bahas.
Dalam kesendirian itu Puspa mengeluh, harusnya ia tidak menolak tawaran boncengan salah satu temannya. Tapi ia tak enak, lebih baik menunggu jemputan saja sambil ditemeni satpam yang juga belum pulang.
Tubuhnya pegal, ingin cepat sampai ke rumah lalu segera membaringkan diri di kasur yang empuk dan nyaman. Namun di sisi lain hatinya terasa berat membayangkan apa yang akan menyambutnya nanti. Pulang ke rumah bukan hal yang menyenangkan bagi perempuan itu. Suara melengking Ibu, bentakan ayah, adu mulut keduanya yang tak ingin mengalah pada satu sama lain.
Pertengkaran itu selalu membuatnya merasa tak nyaman untuk berlama-lama di rumah. Seharusnya pulang menjadi tempat ternyaman untuk mengistirahatkan fisik dan pikiran, menjadi tempat bersandar di kala lelah. Tapi Puspa sudah tak punya itu. Ia tak punya lagi tempat berpulang. Baginya rumah hanya tempat tidur dan makan, tak lebih.
Hanya satu hal yang membuatnya bertahan di tempat itu. Pijar, kakak kembarnya. Pijar selalu jadi putra kebanggaan keluarga sejak dulu. Pintar dan supel. Tak ada yang tak mengenal lelaki itu di komplek perumahan mereka. Putra kembar keluarga Maheswara itu selalu ceria, tak pernah menampakkan gurat atau kerut di wajah tampannya. Membuat ia terlihat seakan tidak memiliki masalah dengan kondisi keluarganya yang menyedihkan. Sangat terbalik dengan Puspa yang tertutup dan malas bergaul.
Tentu Puspa cemburu setiap Ayah ataupun Ibunya menceritakan kemana-mana prestasi yang Pijar raih di sekolah, atau bagaimana tetangganya selalu membanding-bandingkan ia dengan kembarannya sendiri. Rasa iri itu selalu ada, meski tidak sebesar rasa sayang pada kakak kembarnya itu. Tanpa kehadiran Pijar yang hangat, Puspa tak yakin akan bisa bertahan waras di rumah itu.
“Neng, mau saya antar aja?” Pak Damar, satpam sekolah yang menemaninya itu menawarkan.
“Eh, ga usah pak, makasih. Ini katanya kakak saya mau jemput kok.”
Puspa kembali melihat jam di handphone. Kenapa Pijar belum datang juga? Panggilan telepon pun tidak diterima. Mungkin lagi di jalan, batin Puspa kembali mengencangkan jaketnya.
“Kenapa semua orang jahat di dunia ini tidak dihilangkan saja dari dunia?” Pijar mengalihkan perhatian dari bukunya. Menatap Puspa yang tengah memainkan gawai di sampingnya. “Kenapa tiba-tiba berpikir seperti itu?”
“Kau lihat saja akhir-akhir ini berita kejahatan semakin banyak, bahkan sampai kasus-kasus mengerikan yang sebelumnya tak pernah kubayangkan sama sekali. Rasanya seperti dunia ini mau hancur. Aku harap semua orang jahat di dunia ini mati saja.” Pijar tersenyum. “Bagaimana kalau kamu adalah salah satu orang jahat itu?”
Dahi Puspa berkerut mendengarnya. “Bagaimana bisa? Aku bahkan tidak pernah membunuh orang atau mencuri uang?”
“Kenapa kata ‘jahat’ harus selalu dikaitkan dengan kasus-kasus seperti itu? Jahat itu maknanya luas, tahu. Kamu menyakiti hati teman, bagiku itu sudah bisa dibilang jahat. Mengucilkan orang, itu juga jahat. Bisa jadi kamu adalah tokoh jahat di cerita orang lain.” Puspa kemudian termenung. “Lantas menurutmu aku orang jahat atau baik?”
“Hmm.. bagaimana ya? Kemaren siapa yang diam-diam makan es krim melon yang baru aja kubeli?”
“Hiih kok masih diungkit sih, kan aku udah minta maaf! Kalau kayak gitu kamu juga jahat dong soalnya suka jahilin aku!” Pijar tertawa sambil mengacak rambut adik kembarnya itu.
Puspa diam. Berpikir sejenak. “Kalau Ayah dan Ibu? Apa mereka orang jahat? Ayah suka main tangan, Ibu selalu mengatakan hal yang membuatku sakit hati. Itu bisa dibilang jahat kan?” Keduanya terdiam. Pijar menghembuskan napas panjang.
“Terlepas dari semua itu, setidaknya semua manusia diberi kesempatan untuk berubah.” Puspa cemberut kesal. Itu bukan jawaban baginya.
Tanpa mereka sadari, sang Ibu menyaksikan diam-diam percakapan “tunggal” itu. Meski tak bisa mendengar percakapan mereka, namun sang ibu merasa miris melihat pemandangan di hadapannya.
“Ini salahmu kan Puspa jadi seperti ini! Kalau saja kamu tidak keras kepala untuk menyuruh Pijar menjemput Puspa malam itu hal seperti ini tak akan pernah terjadi!”
“Beraninya kamu main tunjuk begitu saja? Bagaimana aku tahu akan seperti ini?!” Lengkingan itu bercampur dengan isak tangis ibu.
Malam itu Ayah dan Ibu bertengkar lagi. Pijar dan Puspa mendengar dari balik dinding kamar yang tipis. Kedua anak kembar itu bertatapan.
“Maksudnya apa sih?” tanya Puspa. “Kok jadi bawa-bawa kamu? Memangnya aku kenapa?” Pijar hanya memandang datar. Tatapan yang tidak disukai Puspa.
“Kamu pernah kepikiran untuk kabur dari rumah?” Tak menjawab, ia malah mengalihkan topik.
Puspa diam, menatap heran pada kakak kembarnya itu. “Tentu saja pernah. Tapi mungkin kamu nggak, soalnya perlakuan mereka ke kita berbeda. Ayah dan Ibu kan jarang meninggikan suara kalau berbicara padamu, beda denganku. Kamu selalu dibanggakan mereka,” Pijar tertawa miris. Tangannya bergerak menepuk pelan kepala kembarannya, kebiasaan kecil sang kakak yang disukai oleh Puspa.
Angin sore berhembus lembut, menerpa wajah Puspa dan Pijar yang tengah duduk termenung di teras rumah. Sore ini aman, tidak ada teriakan yang saling bersahutan, makian, atau suara-suara bantingan barang. Setidaknya mereka bisa bernapas lega barang sejenak, menikmati suasana dalam diam.
“Puspa.” Suara berat menyahut. Ayah berdiri di daun pintu dengan Ibu di sampingnya.
“Oh, kayaknya Ayah Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku masuk duluan ya.” Pijar beranjak dari tempat duduknya namun segera ditahan Puspa.
“Pijar disini aja. Ayah Ibu tinggal ngomong aja, bukan sesuatu yang harus dirahasiakan dari Pijar kan?” Ayah dan Ibu saling tatap. Ibu lalu bersimpuh di hadapan Puspa, sebelum kemudian menggenggam lembut tangan putrinya tersebut.
“Puspa, berhenti kayak gini ya.. Ibu mohon…”
Pertama kalinya Puspa mendengar suara Ibu yang melembut bercampur getar di hadapannya seperti ini. Terakhir kali ia dengar tutur lembut ibunya seperti itu saat dia demam tinggi ketika dulu kecil. Tapi ia tak mengerti apa yang dimaksud ibunya.
“Berhenti apa, sih? Kenapa Ibu tiba-tiba kayak gini?”
Ayah yang sedari tadi diam akhirnya gemas menarik tangan Puspa ke dalam rumah. Membentaknya, menyuruhnya cepat bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Dengan rasa kalut, bingung dan takut yang bercampur satu, Puspa dengan gemetar berganti pakaian. Benaknya penuh, berpikir apa yang salah dengan dirinya. Ia ingin bertanya, tapi urung melihat ekspresi sang Ayah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Langkahnya ragu memasuki mobil yang siap melaju. Ayah dan Ibu sudah menunggu di dalam. Kedua raut wajah mereka tidak terbaca. Mobil itu pergi meninggalkan rumah dengan Pijar yang menatap sendu kepergian mereka dari teras. Puspa tiba-tiba merasa cemas menggerogoti dirinya.
Puspa benar-benar tak habis pikir kenapa dia dibawa ke pemakaman. Ayahnya melangkah turun lebih dulu dari mobil, disusul Ibu yang sambil menunduk menggenggam bahu Puspa gemetar. Langkah demi langkah membuat jantung Puspa semakin berdetak kencang. Rasa gelisah makin tak mampu ia tahan. Keringat dingin mengucur membanjiri tubuh. Cengkraman ibunya di bahu semakin kencang. Hingga langkah sang Ayah terhenti di depan salah satu batu nisan.
Jantung Puspa seakan terhenti. Pikirannya mendadak kosong melihat nama yang tertulis.
“Ini makam Pijar.” Dengan suara yang sangat lirih Ayah akhirnya berbicara.
“Kamu sudah tahu ini, Puspa. Kamu hanya tidak bisa menerimanya. Sudah berbulan-bulan sejak kecelakaan itu, ketika Pijar ingin menjemputmu di sekolah.” Ibunya menambahkan dengan suara yang tak kalah lirih. “Pijar yang selama ini ada hanyalah imajinasimu, nak..”
Suara Ibu tidak terdengar lagi di telinga Puspa. Dunianya seakan berhenti. Kepalanya berdenging. Lututnya lemas, ia jatuh terduduk di hadapan nisan Pijar. Dengan tangan gemetar ia menyentuh pelan nisan itu.
“…Pijar…”
Mendengar rintihan Puspa yang nyaris tak terdengar, Ibu perlahan menutup mulutnya menahan isakan yang akan keluar. Sedangkan sang Ayah memilih pergi menjauh dari tadi, menangis tanpa suara di bawah pohon Kamboja depan pemakaman.
Terjawab lah pertanyaannya selama ini mengapa Ibunya selalu menatap lirih tiap dia mengajak bicara Pijar. Malam itu ternyata Pijar tak menjemput. Tak ingin menerima kenyataan, Puspa akhirnya menghadirkan sendiri Pijar dalam ingatannya. Pijar yang kemarin-kemarin hanyalah ilusi belaka. Tempat berpulangnya sudah tiada.
“Maafkan aku pas itu nggak bisa jemput kamu.”
Terdengar suara lembut menyahut dari samping Puspa. Perempuan itu menoleh, mendapati bayangan samar Pijar yang jongkok di sampingnya. Puspa gemetar, berusaha mengeluarkan suara namun tersangkut di ujung tenggorokan. Lidahnya terasa kelu. Pijar tersenyum getir, tak rela meninggalkan adik kembarnya. Namun apa yang bisa ia lakukan? Ia bahkan tak memiliki kuasa atas takdirnya sendiri.
Bayangan itu perlahan menghilang seiring dengan datangnya gerimis yang mulai membasahi tanah pemakaman. Menyadari bahwa itulah terakhir kalinya ia bisa melihat Pijar, Puspa terkekeh. Tak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan yang fantasi belaka. Dengan mata kosong yang mulai berembun, ia mendongak. Membiarkan air hujan membasahi wajahnya, bersatu dengan air mata.
“Lantas kemana lagi aku harus berpulang?”
Penulis : Khairani Makina D
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja