UMS, pabelan-online.com – Rektor nonaktif Universitas Pancasila (UP) Edie Toet Hendratno, diduga melakukan Kekerasan Seksual (KS) kepada dua perempuan yang merupakan staf UP. Korban tidak mendapatkan perlindungan dan advokasi dari pihak kampus.
Melansir dari detiknews.com kuasa hukum korban RZ dan DF, Amanda Mantovani, mengatakan korban sempat diintimidasi mengenai kasus tersebut.
“Sebenarnya hal-hal seperti itu tentunya saya tidak bisa juga bicara secara detail, tapi itu ada (intimidasi),” kata Amanda kepada wartawan di Beji, Depok, Jumat (08/03/2024).
Korban juga tidak ada perlindungan atau komunikasi yang diberikan oleh pihak UP kepada korban dalam kasus ini. Korban terpaksa bergerak sendiri dengan bantuan kuasa hukum, bahkan telah bersurat ke Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mencari keadilan.
“Oh, dari Universitas Pancasila sampai dengan saat ini tidak, tidak ada perlindungan kepada para korban tidak ada,” kata Amanda.
Dihubungi reporter pabelan-online.com Annisa Nurul, anggota Organisasi Perempuan Mahardhika Jakarta, menyatakan bahwa korban kekerasan seksual kerap mengalami trauma berkepanjangan seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), depresi, ketakutan, dan kecemasan. “Melihat apa yang terjadi di Universitas Pancasila, korban mungkin mengalami trauma serupa,” ungkapnya, Sabtu (09/03/2024).
Ia mengkritik praktik menutup-nutupi kasus KS yang masih jamak terjadi di lingkungan kampus. Menurutnya, budaya tersebut merupakan kebiasaan buruk yang perlu ditinggalkan, karena hanya akan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan mengabaikan hak-hak korban.
“Kampus seringkali salah dalam menafsirkan soal kasus KS, yang mana acapkali dianggap sebagai aib dan memperburuk nama baik kampus. Padahal, justru nama baik kampus buruk ketika laporan kasus KS dibiarkan berlarut-larut dan diselesaikan secara tidak adil untuk korban,” terangnya.
Ia mengungkapkan bahwa, seharusnya jajaran kampus mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 yang memiliki mandat untuk penyelesaian kasus yang adil terhadap korban.
“Peraturan tersebut juga dimunculkan dengan semangat untuk mencairkan kasus-kasus KS yang selama ini seperti fenomena gunung es,” ujarnya.
Annisa kemudian menyarankan langkah-langkah konkret yang dapat diambil kampus, seperti mendekati korban dan menawarkan pendampingan psikologis sekaligus advokasi secara hukum yang tercantum pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan UU Nomor 12 Tahun 2022 yang mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sementara itu, mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya berinisial H yang tidak ingin disebutkan namanya menyampaikan tanggapannya kepada reporter pabelan-online.com bahwa, intimidasi terhadap korban tidak dapat diterima dan harus ditangani dengan serius.
“Ancaman tersebut bisa sangat serius dan berdampak buruk secara psikologis dan emosional korban, serta dapat menghambat proses keadilan,” tuturnya pada Sabtu, (09/03/2024).
H menilai sikap UP merupakan bentuk kelalaian jika tidak diikuti tindakan konkret. Ia pun berharap, agar kepolisian dan lembaga perlindungan korban terlibat untuk memastikan penanganan yang adil dan transparan.
“Partisipasi Komnas Perempuan dan LPSK dapat membantu memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan yang layak dan mendapatkan keadilan,” pungkasnya.
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Aulia Azzahra