Aksi yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) tempo hari menyoroti ketidakpuasan yang signifikan di kalangan mahasiswa terhadap pemerintahan Jokowi. Inti dari keluhan mereka yakni kegagalan yang dirasakan dari pemerintahan serta kurangnya keterlibatan langsung dari presiden.
Sudah menjadi kebiasaan lama Jokowi yang berulang kali kita saksikan, alih-alih ia menyambut dan menanggapi massa aksi dengan semestinya, ia malah pergi ke Papua. Bahkan, dalam media lain pun mendokumentasikan bagaimana tindakan represif yang dilakukan oleh aparatur kepada mahasiswa demi membubarkan massa aksi.
Tak hanya mendapat pengabaian, rupanya para mahasiswa juga diusir dengan kekerasan agar segera mengakhiri demonstrasi. Melihat dari pengabaian serius yang terjadi sebelumnya, ada kebutuhan yang mendesak untuk mempertimbangkan potensi bahaya jika suara mahasiswa diabaikan. Pengabaian suara mahasiswa bisa membawa dampak negatif yang perlu diperhatikan dan dipikirkan dengan serius.
Secara historis, gerakan mahasiswa di Indonesia telah menjadi katalisator perubahan politik yang begitu besar. Gerakan Reformasi tahun 1998, yang menyebabkan lengsernya Presiden Soeharto, menjadi pengingat yang jelas akan kekuatan dan pengaruh demonstrasi yang dipimpin mahasiswa.
Hal yang mengerikannya, peristiwa itu juga dipenuhi dengan kekerasan dan kerusuhan yang berkecamuk, termasuk peristiwa tragis pada Mei 1998 di mana kerusuhan menyebabkan kekacauan luas dan kehilangan banyak nyawa.
Iklim politik saat ini memiliki beberapa kesamaan dengan masa-masa sebelumnya. Seruan BEM SI yang terus-menerus menuntut akuntabilitas serta konsolidasi, dapat meningkatkan potensi pada kerusuhan serupa jika tuntutan mereka terus diabaikan. Ketidakpedulian Jokowi terhadap keluhan-keluhan itu tak hanya menyulut frustrasi para demonstran tetapi juga berisiko mendorong negara menuju kerusakan serius.
Jokowi harus segera menyadari bahwa pengabaian untuk terlibat secara langsung dengan mahasiswa ini dapat memiliki konsekuensi yang berbahaya. Eskalasi demonstrasi yang digelar nanti dapat dengan cepat berubah menjadi kerusuhan masyarakat yang lebih luas, terlebih jika publik sudah memandang pemerintah sebagai entitas yang tidak peduli terhadap unjuk rasa mahasiswa.
Strategi pemerintah yang terus mengabaikan apalagi menekan demonstrasi itu sepintas dapat menyelesaikan persoalan jangka pendek. Padahal, cara itu hanya akan memperburuk situasi untuk jangka panjangnya. Potensi terulangnya sejarah kelam itu tidak boleh dianggap remeh. Kekecewaan mahasiswa yang nyata adanya, akan menjadi bom waktu bagi pemerintahan negara ini.
Menilik dari pepatah Perancis, L’Histoire se Répète yang artinya “Sejarah mengulang dirinya sendiri”. Sejatinya, pepatah itu tak mutlak benar jika pemerintah menyambut aksi-aksi serupa dengan dialog yang bermakna dan upaya sungguh-sungguh untuk menangani kekhawatiran mereka dapat mencegah situasi memburuk lebih lanjut.
Namun, jika semakin lama masalah-masalah ini terus dibiarkan, hanya soal waktu, peristiwa kelam itu akan segera terulang kembali. Kekecewaan masyarakat dan mahasiswa terhadap pemerintah akan meletus jika pemerintah terus mengabaikan unjuk rasa mereka. Jokowi dan kroni-kroninya perlu belajar lagi dari masa lalu dan secara proaktif terlibat dengan tuntutan BEM SI untuk ke depannya.