Berbagai kebijakan pendidikan di era Jokowi-Ma’ruf Amin cenderung lebih mementingkan kepentingan bisnis daripada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Mahalnya biaya pendidikan di sekolah maupun kampus menjadikan hal ini hanya dapat diakses oleh kalangan menengah ke atas. Hal ini tentu saja mencederai nilai-nilai demokrasi, di mana seharusnya pendidikan dapat diakses secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai agent of change, mahasiswa aktivis menyoroti dengan prihatin kinerja Presiden Jokowi dalam bidang pendidikan selama masa kepemimpinannya. Mereka melihat bahwa alih-alih fokus untuk mengembangkan generasi yang kuat dan berintelektual, pihak-pihak di jajaran pemerintah justru menjadikan pendidikan sebagai ajang komersialisasi atau bisnis.
Mahasiswa disebut sebagai agent of change atau agen perubahan karena mereka memiliki akses ke Pendidikan di perguruan tinggi sekaligus menjadi lumbung pengetahuan yang luas. Mahasiswa memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, semangat idealisme, serta keberanian dan independensi untuk menyuarakan perubahan. Sejarah juga mencatat peran penting mahasiswa dalam berbagai gerakan perubahan sosial dan politik di Indonesia, seperti Sumpah Pemuda 1928, dan Gerakan Reformasi 1998.
Hal itulah yang membuat kedudukan mahasiswa menjadi istimewa karena mendapat akses pendidikan yang memiliki peran strategis dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat. Melalui proses pembelajaran di perguruan tinggi, mahasiswa tidak hanya memperluas pengetahuan, tetapi juga mengembangkan pemahaman, sikap, dan perspektif kritis terhadap realitas sosial dan politik.
Melihat banyaknya demo atau aksi yang memiliki banyak tuntutan panjang pada sisa kepemimpinan Jokowi, menunjukan indikasi bahwa negara tersebut sedang menghadapi permasalahan yang serius dan membutuhkan perhatian segera. Terdapat ketidakstabilan politik, ekonomi, atau sosial yang belum terselesaikan dengan baik.
Proses demokrasi pun kini dipertanyakan. Demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk menyuarakan aspirasi, justru terasa semakin terbatas. Banyak aksi mahasiswa yang diabaikan atau bahkan ditindak tegas oleh aparat, padahal mereka hanya ingin menyuarakan keprihatinan terhadap arah pendidikan dan demokrasi di Indonesia.
Beberapa mahasiswa mungkin belum memiliki kesadaran yang cukup, bahkan ada yang merasa bahwa diam lebih baik daripada harus repot turun ke jalan untuk menyuarakan pendapat. Padahal, sebagai mahasiswa yang memiliki akses kepada pengetahuan luas, seharusnya menjadi penggerak dan menyadarkan masyarakat akan kekeliruan yang ada di negeri ini, termasuk kesadaran akan ditindas oleh bangsa sendiri.
Sejarah mencatat, mengapa zaman dahulu masyarakat Indonesia bersatu untuk melawan penjajah. Hal itu karena masyarakat pada waktu itu memiliki nasib yang sama, sampai berdiri organisasi-organisasi pergerakan untuk menjadi lonceng pengingat bagi pemangku kekuasaan. Itulah sebuah kekuatan yang digabungkan dapat melawan penindasan.
Namun di zaman modern ini, kebutuhan dan keinginan orang sekaligus nasib sudah mulai berubah dan berbeda-beda akibat banyaknya budaya yang masuk dari luar, sehingga mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka telah ditindas.
Jika bukan mahasiswa yang menjadi lonceng pengingat akan kekeliruan yang ada di negeri ini, lantas siapa lagi yang akan berpihak kepada rakyat kecil? Mengingat banyaknya polemik yang ada di pemerintahan Indonesia yang tidak berpihak kepada rakyat kecil, dan undang-undang yang seolah-olah hanya menjadi sebuah narasi kosong.
Harapannya pemerintah dapat kembali pada nilai-nilai demokrasi yang sejati, di mana pendidikan bukanlah komoditas bisnis, melainkan hak dasar yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, dan lebih memprioritaskan pengembangan kualitas SDM yang berintelektual dan berkepribadian, daripada keuntungan ekonomi semata. Sebagaimana amanat konstitusi yang tertuang pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Amanat ini merupakan landasan fundamental bagi upaya pembangunan bangsa di bidang pendidikan.
Ruang demokrasi di Indonesia juga diharapkan semakin terbuka, di mana suara-suara kritis, terutama dari kalangan mahasiswa dapat didengar dan dihargai sebagai bagian dari proses pembangunan bangsa yang lebih baik. Hingga mahasiswa dapat terus menjadi lonceng pengingat bagi pemerintah serta masyarakat, agar tidak melupakan tujuan utama dari pendidikan dan demokrasi itu sendiri.







